Redesain Sistem Pemilu yang Demokratis

Sistem seleksi kandidat pada level partai politik perlu diperbarui dan model Pemilu kita dalam empat kali Pemilu terakhir perlu dilakukan evaluasi yang komprehensif agar dapat dirumuskan sistem Pemilu yang ideal yakni sistem Pemilu yang demokratis. - Syarifuddin Jurdi -

 

-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 11 Mei 2025

 

Redesain Sistem Pemilu yang Demokratis

 

(Bagian pertama dari dua tulisan)

 

Oleh: Syarifuddin Jurdi

(Dosen Sosiologi Politik UIN Alauddin Makassar)

 

Konstruksi sistem Pemilu serentak Indonesia menjadi salah satu bentuk kebijakan politik dengan menggabungkan Pemilu presiden/wakil presiden dengan Pemilu legislatif nasional dan Pemilu legialstif daerah sebagaimana yang dipraktekkan pada Pemilu 2019 dan Pemilu 2024.

Pemilu yang kita semua menyebutnya dengan Pemilu lima surat suara atau lima kotak. Penggabungan Pemilu eksekutif nasional dengan legislatif nasional ditambah dengan legislatif daerah, pada satu sisi memperoleh apresiasi dan dukungan dari banyak pihak, baik ahli hukum, pakar politik maupun publik secara luas, karena sistem Pemilu serentak bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial dan membangun sistem pemerintahan yang memperoleh dukungan politik yang kuat.

Di sisi lain Pemilu serentak memperoleh kritik dan bahkan gugatan publik justru setelah Pemilu serentak itu dilaksanakan, karena Pemilu serentak dianggap Pemilu yang membingungkan dan rumit, baik bagi tokoh, politisi maupun pemilih.

Kerumitan yang paling dirasakan pemilih pada saat pemilihan dilakukan, ketika menerima surat suara dari petugas KPPS yang jumlahnya lima jenis, pemilih harus mencermati dengan baik supaya pilihannya tidak salah atau batal, kemudian mengecek satu per satu, menyimak daftar calon, asal partainya dan seterusnya.

Pemilu sebagai sarana untuk menjamin kedaulatan rakyat seharusnya memberikan suatu kemudahan dan kepastian mengenai detail tahapan pelaksanaannya, prosesnya, pemungutan suaranya, penghitungan dan rekapitulasi suara, termasuk waktunya, teknis penyelenggaraannya agar rakyat benar-benar terlibat aktif.

Penyelenggaranya melakukannya dengan profesional dan bertanggungjawab. Semua warga negara diberi ruang partisipasi yang setara dan memastikan bahwa prinsip kedaulatan rakyat dapat terwujud melalui pelaksanaan yang jujur dan adil.

Dalam hal Pemilu sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, sudah menjadi keniscayaan bahwa Pemilu tidak menimbulkan persoalan dan tidak menimbulkan kebingungan ataupun kerumitan bagi pemilih.

Pemilu sejatinya harus menciptakan kemudahan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ketika Pemilunya masih rumit, menyulitkan pemilih, dan masalah lainnya, maka Pemilunya tidak dirancang untuk menghasilkan partisipasi rakyat yang adil dan setara.

Sistem Pemilu demokratis memiliki parameter yang terukur untuk menghasilkan kepemimpinan nasional dan keterwakilan politik sebagai representasi rakyat dengan terbukanya ruang kompetisi yang adil dan tidak menimbulkan kebingungan bagi pemilih.

Menurut Afan Gaffar (2000: 251-254), Pemilu yang demokratis mencakup; pertama, Pemilu dilakukan secara demokratik untuk memberi ruang kompetisi yang jujur, fair dan adil. Kedua, produk Pemilu harus lebih baik, lebih berkualitas, mandiri dan memiliki akuntabilitas yang tinggi.

Ketiga, derajat keterwakilan dengan adanya perimbangan yang adil antara pusat dan daerah. Keempat, peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu harus tuntas. Kelima, pelaksanaan Pemilu bersifat praktis, tidak rumit, mudah dipahami dan dimengerti oleh rakyat.

Konstruksi Pemilu demokratis sudah digagas jauh sebelum dilaksanakan Pemilu serentak 2019 dan 2024. Gaffar memberi penekanan bahwa Pemilu bersifat praktis dan mudah dipahami oleh rakyat.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis suatu keniscayaan, namun menghindarkan dari kerumitan bagi rakyat, mengingat Pemilu sebagai pintu untuk menyeleksi elite berkuasa, artinya melalui Pemilu warga negara harus memiliki hak untuk memberikan suara dan suara-suara mereka itu dihitung secara adil.

Selain memastikan hak pilih warga terjamin, Pemilu juga menjamin terpenuhinya persamaan hak pilih warga secara adil. Robert Dahl menyebut terdapat kriteria suatu negara-bangsa dalam proses demokrasi sehingga terbentuk pemerintahan yang paling baik yakni persamaan hak pilih, partisipasi efektif, pembeberan kebenaran, kontrol terhadap agenda dan pencakupan.

Dahl juga menyebut tujuh lembaga demokrasi yang harus ada dalam proses demokrasi, yakni para pejabat yang dipilih; Pemilu yang bebas dan adil; hak untuk memilih yang inklusif; hak dipilih atau dicalonkan dalam Pemilu; kebebasan menyatakan pendapat; hak mendapatkan informasi alternatif; dan kebebasan berserikat.

Setiap warga negara dalam Pemilu berhak memperoleh informasi mengenai proses tahapan Pemilu, kandidat yang bersaing dan mereka bebas dari intervensi pihak manapun dalam penggunaan hak mereka sebagai pemilih.

Dalam hal ini, Pemilu yang demokratis lahir dari suatu proses politik yang memberi warga negara kebebasan, kebebasan menyampaikan pendapat, berserikat, berekspresi dan dalam hal Pemilu warga negara memiliki kebebasan menentukan pilihan politiknya tanpa terikat dan tergantung pada kekuatan apapun, termasuk kekuasaan dan uang.

Menurut Juan J. Linz, suatu sistem dapat dianggap demokratis apabila memungkinkan dirumuskannya secara bebas preferensi-preferensi politik, dengan menggunakan kebebasan-kebebasan dasar, yaitu untuk berserikat, untuk mendapatkan informasi, dan untuk berkomunikasi dengan tujuan membuka persaingan bebas di antara para pemimpin untuk mendapatkan keabsahan dalam jangka waktu tertentu dengan sarana-sarana anti-kekerasan.

Visi penyatuan Pemilu legislatif dan eksekutif dalam kasus Pemilu 2019 dan 2024 bertujuan memperkuat sistem presidensial agar dapat menghasilkan stabilitas politik pemerintahan dalam masyarakat yang majemuk, terbuka dan dunia yang makin kompetitif.

Desain sistem Pemilu untuk melakukan seleksi terhadap elite berkuasa diperlukan agar dapat menghasilkan kepemimpinan yang kuat, kepemimpinan yang memperoleh dukungan rakyat dan dukungan parlemen, dipilih dalam waktu yang sama untuk beberapa posisi kekuasaan (eksekutif dan legislatif).

Oleh sebab itu, desain atau rekayasa sistem Pemilu dirumuskan untuk memperkuat pelaksanaan pemerintahan presidensial yang stabil. Redesain sistem Pemilu menjadi pilihan untuk menghasilkan pemerintahan yang tidak saja memiliki dukungan politik, tetapi juga sebagai arena untuk menyederhanakan partai politik melalui pola keserentakan Pemilu.

 

Ketulusan Elite Berkuasa

 

Rencana perubahan terhadap UU Pemilu tidak sekadar dilakukan untuk memenuhi hasrat elite berkuasa untuk mengokohkan dominasi kekuasaannya, memperluas pengaruh politiknya dan sumber-sumber ekonomi politik, tetapi perubahan dilakukan lahir dari ketulusan untuk menata dan memperbaiki sistem Pemilu yang kita semua menyadari bahwa sistem Pemilu kita ini ada masalah.

Mengapa demikian? Karena produk Pemilu tidak menghasilkan aktor politik yang memiliki komitmen untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Kualitas Pemilu dan implikasinya adalah kualitas hidup berbangsa dan bernegara pun mengalami masalah.

Moralitas dan ketulusan elite dalam membahas perubahan UU Pemilu menjadi faktor krusial dan menentukan masa depan demokrasi Indonesia. Melalui merekalah sistem Pemilu kita akan dirumuskan.

Pertanyaannya apakah para elite itu sungguh-sungguh menggunakan hatinya untuk memperjuangkan cita-cita luhur bangsa? Apakah para elite itu sungguh-sungguh menggunakan kesadaran kritisnya memperbaiki sistem Pemilu untuk merawat dan menjaga Indonesia dari rongrongan oligarki dan borjuasi? Ataukah mereka akan terus-menerus berada dalam bayang-bayang oligarki ekonomi dan oligarki politik?

Disadari atau tidak, politik dan demokrasi Indonesia telah dibajak oleh oligarki. Dibajak oleh kekuatan borjuasi ekonomi, mulai dari pusat sampai daerah-daerah. Kenyataan inilah yang harus diakhiri dengan kita secara bersama sebagai anak bangsa kembali memperjuangkan cita-cita luhur Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur.

Pemilu menjadi pintu untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pemilu menjadi pintu bagi rakyat untuk menentukan pilihan politiknya yang tepat untuk diberikan mandat dalam mengelola sumber daya yang dimiliki negara.

Untuk harapan tersebut diperlukan suatu sistem Pemilu yang mampu menjadi pintu gerbang bagi kemajuan bangsa. Pemilu yang diselenggarakan untuk menyeleksi orang-orang terbaik yang akan ditawarkan kepada rakyat.

Karena itu, sistem seleksi kandidat pada level partai politik perlu diperbarui dan model Pemilu kita dalam empat kali Pemilu terakhir perlu dilakukan evaluasi yang komprehensif agar dapat dirumuskan sistem Pemilu yang ideal yakni sistem Pemilu yang demokratis.

Pemilu Indonesia sejak 2009 telah mengokohkan dominasi kekuatan oligarki. Mereka memiliki koneksi dengan kekuatan ekonomi dan kekuasaan, jejaring mereka akan lebih mudah menjadi pejabat, meskipun tidak memiliki rekam jejak sebagai pejuang kemanusiaan.

Sebaliknya mereka yang berjuang lama dalam bidang sosial kemanusiaan, namun tidak memiliki koneksi jaringan dengan kekuatan oligarki, tidak punya koneksi dengan kekuatan kapital dan koneksi dengan kekuasaan, akan sulit muncul dalam pentas politik.

Rakyat telah dipergunakan dan diperalat untuk memenuhi hasrat kelompok elite dan oligarki, kemulusan mereka mencapai puncak kekuasaan, karena sistem Pemilu membuka ruang untuk itu.

Isu kesejahteraan yang menjadi tema kampanye dalam Pemilu dan Pilkada hanya sebatas gagasan yang kadang-kadang tidak diperjuangkan secara serius, bahkan banyak anggota legislatif pusat dan daerah yang ketika mereka terpilih tidak jelas keberadaan mereka di parlemen.

Selain sistem Pemilu yang diperbarui, sistem rekruitmen juga harus dilakukan secara terbuka dengan menyusun kriteria yang seharusnya dimiliki oleh kandidat. Wallahu a’lam bi shawab. (bersambung)


.....

Tulisan Bagian 2:

Desain Sistem Pemilu di Indonesia: Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama