Keserbamungkinan Bahasa Menuju Dialog Intersubjektif Sains dan Budaya

Redeskripsi bahasa lama yang telah membentuk wacana Masa Pencerahan (aufklärung) hanya dapat dilakukan dengan tetap menghargai kebebasan sebagai pengenalan terhadap sifat keluwesan dan keserbamungkinan (kontinjensi) masyarakat serta keserbamungkinan (kontinjensi) bahasa. - Mardi Adi Armin -

------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 21 Juni 2025

 

Keserbamungkinan Bahasa Menuju Dialog Intersubjektif Sains dan Budaya

 

Oleh: Mardi Adi Armin

(Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin)

 

Setelah melewati Masa Pra-Yunani, Yunani, Ancilla Theologia, Kebangkitan Rasio (aufklärung), dan Postmodernisme, Filsafat Barat memasuki era Filsafat Bahasa (linguistic turn).

Filsafat Bahasa (linguistic turn) berarti kembali pada bahasa, di mana filsafat tidak lagi berarti seperti filsafat pada masa Yunani yang memberi perhatian pada keabadian, keutamaan, demokrasi, melainkan analisis terhadap bahasa dan pernyataan-pernyataan ilmiah.

Filsafat bahasa memfokuskan diri pada ikhtiar untuk menganalisis pernyataan, konsep atau ungkapan kebahasaan. Filsafat bahasa berupaya menganalisis pernyataan dalam bentuk terbaik, sesuai dengan fakta dan makna yang disajikan dan bersandar kuat pada analisis linguistik.

Filsafat bahasa mempelajari bagaimana bahasa verbal dan nonverbal terbentuk, baik dalam konteks nyata maupun kontekstual. Filsafat ini juga mengklasifikasikan makna, di mana penggunaan kata dan kalimat sangat penting dalam menyelesaikan masalah filosofis, termasuk bahasa ontologis-metafisis yang melampaui batas realitas.

Tujuan filsafat bahasa adalah untuk mengungkap makna di balik pernyataan bahasa dan memahami hubungan antarstruktur bahasa, termasuk bahasa sains. Selain itu, filsafat bahasa berupaya menyederhanakan penjelasan sains ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Hubungan antara realitas, pikiran dan bahasa adalah triple helix, sebab realitas memiliki makna dalam pengolahan pikiran, sementara pikiran senantiasa menuntut adanya objek. Pikiran yang terletak dalam tataran konseptus tidak memadai untuk dikembangkan, sebab bersifat abstrak.

Manusia tidak dapat berinteraksi dalam dimensi abstrak saja, sehingga konsep yang bersifat abstrak perlu diberi lambang. Lambang dari konsep yang abstrak adalah bahasa.

Kesadaran dan pikiran merangkai bahasa mengenai realitas dengan cara arbitrer, artinya bahasa dan keluasannya berbanding lurus dengan keluasan alam semesta, namun lambang realitas pada bahasa senantiasa sewenang-wenang: flower (eng), la fleur (fr), bunga (ind).

Filsafat menyampaikan beraneka-ragam pandangan terhadap masalah ontologis ini. Ada yang mengatakan “di dalam kata-kata manusia dapat berpikir”.

Yang lain menyebutnya, “letak kebenaran ada dalam bahasa”, “diam adalah puncak bahasa”, “diam seribu bahasa”, “bahasa adalah keranjang yang membawa peristiwa masa lalu ke masa sekarang dan ke masa depan”, “bahasa adalah semacam kail bagi realitas”.

“Language is the house of being”, Martin Haidegger, (1996). “Bahasa adalah isomorf yang artinya satu realitas niscaya sebanding dengan satu bahasa, misalnya ‘kata mangga dan benda mangga’ itu sendiri.

 

Neopragmatisme dan Wacana Bahasa Sains

 

Awal abad ke-21, para cendekiawan mencari pemikiran baru sebagai reaksi terhadap kemunduran ideologi dan filsafat barat akibat perselisihan antara rasionalisme vs empirisme, dan idealisme vs materialisme.

Juga keusangan yang dialami oleh aliran positivisme August Comte yang menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih serta menegasikan pengetahuan yang melampaui fakta, yakni dengan mengakhiri peranan ontologi dan metafisika, karena ontologi menelaah apa yang melampaui fakta inderawi, sementara metafisika adalah spekulasi yang menggunakan bahasa tidak bermakna.

Alternatif pemikiran tersebut misalnya berasal dari kelompok pemikir dan filsafat neopragmatisme. Kelompok tersebut menganut pandangan yang longgar dan lentur, mengabaikan kriteria dan kategorisasi serta antagonisme.

Sebaliknya, mereka mengakomodir ide demokrasi dan pluralisme. Kelompok neopragmatisme menunjuk bahwa pahlawan masyarakat adalah pihak yang mahir memainkan bahasa, seperti kaum revolusioner utopis dan sastrawan yang kuat.

Mereka mempertanyakan definisi objektivitas dan pengertian fakta-fakta yang dipahami dalam dunia sains selama ini. Sebaliknya, mereka melancarkan propaganda mengenai peran kelompok revolusioner utopis dalam rekonstruksi masyarakat.

Modalitas yang dapat dikembangkan untuk menggantikan objektivitas dan fakta-fakta yang  ketat tersebut adalah bentuk-bentuk metafora yang dicipta oleh para seniman dan budayawan.

Bagi mereka, persoalan penting yang dihadapi, bukan pada peletakan dasar mengenai proses pembentukan masyarakat, melainkan suatu upaya penggambaran dan pembentukan kembali masyarakat dengan cara yang supra rasional dan tidak universal.

Redeskripsi bahasa lama yang telah membentuk wacana Masa Pencerahan (aufklärung) hanya dapat dilakukan dengan tetap menghargai kebebasan sebagai pengenalan terhadap sifat keluwesan dan keserbamungkinan (kontinjensi) masyarakat serta keserbamungkinan (kontinjensi) bahasa.

Neopragmatisme bergerak di antara dua kecenderungan kuat, yaitu di satu sisi berupa usaha untuk menjelaskan wilayah kebudayaan, sejajar dengan epistemologi  ilmu alam, dan di sisi yang lain, suatu ikhtiar untuk mengantar paradigma ilmu alam paralel dengan epistemologi seni dan karya artistik.

Dalam perkembangan kemudian, filsafat tidak dapat terhindar dari kekuatan tarik-menarik yang membawanya condong ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah sastra (sains analitik), bahwa sains yang ketat dalam metode dan konstruksi sesungguhnya hanya persoalan cara berbahasa.

Sains hanya persoalan selera saja (problem of taste). Sementara wilayah lain adalah pengertian yang lebih ketat bahwa sains bersifat metodis, objektif, dan taat azas. 

Bagaimana fakta-fakta atau realitas dipahami menurut kebenaran neopragmatisme? Neopragmatisme tidak membutuhkan modifikasi mengenai dunia. Dunia harus ditampilkan apa adanya dalam keasliannya, dalam perbedaan yang dapat ditolerir.

Ketidakstabilan fakta diakomodir, ditampilkan dan diletakkan pada nilainya  masing-masing. Dunia nyata adalah dunia di mana dengannya kita selalu dalam kontak secara intim. Dunia yang bervariasi dan jamak akan membentuk pikiran yang bervariasi dan jamak pula.

Kecenderungan filsafat dewasa ini adalah mempertanyakan hasil-hasil ilmu pengetahuan, dengan menekankan keserbamungkinan (kontinjensi) bahasa dan konteks, namun tidak jatuh pada nihilisme.

Narasi tunggal telah lama hilang dari wacana Filsafat Kontinental dan Anglo-Saxon. Sebagai gantinya adalah projek filsafat baru yang menyatakan bahwa kebenaran bersifat sosial. Kebenaran harus dinisbahkan pada dialog. Kebenaran adalah kesepakatan, bersifat progresif, sebagai bagian dari proses redeskripsi linguistik. (bersambung) 


......

Artikel Bagian 2: 

Redeskripsi Bahasa Lebih Mungkin “Dipuitisasi” Ketimbang “Dirasionalisasi”

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama