-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 24 Juni 2025
Keserbamungkinan Bahasa Menuju Dialog
Intersubjektif Sains dan Budaya (2-habis):
Redeskripsi Bahasa
Lebih Mungkin “Dipuitisasi” Ketimbang “Dirasionalisasi”
Oleh: Mardi Adi Armin
(Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Bahasa, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin)
Setelah revolusi industri abad ke-18, para
pemikir dan filsuf meyakini bahwa kebenaran sesungguhnya “dibuat” (made)
ketimbang “ditemukan” (found), (Rorty 1990).
Menyusul keyakinan tersebut, pemikir memandang,
terdapat dua macam kecenderungan dalam menganalisis hegemoni kebudayaan dan
peradaban industrial.
Pertama, kelompok yang menjadi pengikut
setia domaine pencerahan (aufklärung), yang masih mengidentifikasi sains dengan
cara-cara yang ketat. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa sains dengan
kriteria dan metode sangat ketat, tidak dapat diharapkan lagi untuk memberi
pelajaran moral kepada manusia, termasuk kepuasan spiritual.
Kelompok kedua ini menyatakan diri dekat
dengan para seniman dan sastrawan inovatif. Secara radikal, kelompok pertama
menganut prinsip bahwa sains alam (naturwissenschaft) tidak berhubungan dengan
filsafat, sebagaimana mereka menganggap bahwa sains terpisah dari teologi dan
seni.
Jika kelompok pertama mempertentangkan
fakta sains yang ketat dengan subjektivitas dan metafora, kelompok kedua
cenderung menilai sains sebagai aktivitas yang lebih fleksibel, memungkinkan
pemikir dan ilmuwan menghadapi realitas dengan lebih luwes.
Dalam pandangan ini, tidak ada kekakuan
metode, sehingga ilmuwan dapat menemukan gambaran realitas yang berguna untuk
membuat prediksi dan mengawasi apa yang mungkin terjadi. Kebenaran tidak independen terhadap manusia. Dunia ada di
luar sana, tetapi penggambaran tentang dunia tentu saja tidak, demikian pula
mengenai keserbamungkinan pernyataan-pernyataan bahasa manusia.
Keputusan tentang pihak-pihak yang bermain
dalam pernyataan-pernyataan bahasa adalah lebih pada kesepakatan ketimbang
penentuan kriteria. Kriteria bukan lagi persoalan pada pergeseran satu
permainan bahasa pada permainan bahasa lainnya, karena adanya faktor-faktor
keserbamungkinan.
Lagi pula upaya untuk menemukan kriteria
merupakan tradisi lama, padahal yang kita upayakan adalah usaha untuk
merumuskan kembali tata bahasa agar dapat menentukan masa depan yang lebih
membahagiakan bagi manusia (summum bonum).
Penggambaran kembali bahasa lama yang
telah membentuk wacana dasar pada masa pencerahan hanya dapat dilakukan dengan
tetap memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kemerdekaan yang
bertanggungjawab sebagai pengenalan terhadap sifat keserbamungkinan masyarakat
secara umum tanpa kecuali.
Istilah-istilah logis, objektif dan
metodis tidak lagi penting dan menarik bagi area kebudayaan dan peradaban model
ini, karena hanya menghasilkan realitas ketat dan terisolasi. Redeskripsi
bahasa, diri, pikiran dan masyarakat sebagai harapan bagi kelonggaran
kebudayaan dan peradaban manusia lebih mungkin “dipuitisasi” ketimbang “dirasionalisasi.”
Dalam kaitan dengan ini, istilah rasional
dibedakan atas dua macam. Pertama, rasional yang berarti metodis yaitu
penentuan kriteria-kriteria atau strandardisasi yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya, di mana susunan bangunan epistemologinya harus disesuaikan dengan tipe
pembenaran ilmiah.
Sedangkan arti kedua, rasional adalah
kehalusan dan kesucian, kebaikan moral, kebersamaan, respek dan toleran
terhadap pendapat dan pandangan yang ada, kemampuan mendengarkan dan
kepercayaan pada persuasi ketimbang pada kekuatan.
Tawaran yang hendak ditampilkan adalah solidaritas,
empati berdasarkan semangat dialog dan saling pengertian, memberi makna dan
tempat pada keserbamungkinan bahasa bagi pembangunan masyarakat. Arti kata rasional
pada pandangan yang terakhir ini adalah berbudaya.
Makna rasional yang kedua tersebut lebih menyetujui
kata objektivitas diganti menjadi
kesepakatan. Kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa ada yang
disebut status atau karakter sains dan bahwa kebenarannya dapat saja bersifat
tunggal (univok).
Namun, istilah “setuju tanpa konflik” dalam masing-masing cabang sains tersebut adalah satu-satunya garis kebenaran objektif yang kita inginkan bersama, yaitu persetujuan intersubjektif. Tidak ada tempat lagi bagi ketidakterbandingan (incommersurabilty) paradigma dalam sains.***
......
Artikel Bagian 1:
