![]() |
| Penulis buku, pembincang, dan peserta foto bersama seusai Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” karya Andi Ruhban, di Rumah De La Macca Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025. (ist) |
------
PEDOMAN KARYA
Senin, 25 Agustus 2025
Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” (5-habis):
“Balutan Asmara La
Ruhe” Tawarkan Pencerahan Batin yang Indah
Oleh: Asnawin Aminuddin
Suasana persidangan sangat terasa pada
Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” karya Andi Ruhban, di Rumah De La Macca
Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025.
Tiga pembincang yakni Rusdin Tompo (Koordinator
Satupena Sulawesi Selatan), Yudhistira Sukatanya (sutradara, sastrawan, dan
budayawan) dan Goenawan Monoharto (sastrawan, seniman dan penerbit) kompak “membantai”
karya Andi Ruhban.
Ketiganya seolah menempatkan diri sebagai
hakim dan menempatkan Andi Ruhban sebagai terdakwa. Mereka memberikan penilaian
seolah menghakimi Andi Ruhban di hadapan sejumlah seniman, budayawan, dan wartawan
dalam bincang buku yang dipandu oleh Ishakim (seniman).
Seniman, penyair, budayawan dan wartawan yang
hadir antara lain Mahrus Andis (kritikus sastra), Muhammad Amir Jaya (Presiden
Fosait), Anwar Nasyaruddin, Syahril Rani Patakaki, Anil Hukmah, Asnawin
Aminuddin, Bahar “Petta Puang” Merdhu, Arwan Awing, Syarif Liwang, dan Rahman
Rumaday.
Kritikus sastra dan budayawan Mahrus Andis
yang hadir sebagai peserta bincang buku mengatakan, Rusdin Tompo, Yudhistira
Sukatanya, dan Goenawan Monoharto terbilang tokoh di dunia literasi yang paham
benar teknik penulisan karya sastra.
“Maka, ketika mereka kompak ‘membantai’ karya
Andi Ruhban berjudul ‘Balutan Asmara La Ruhe’ wajarlah diterima sebagai paparan
kritis yang mencerahkan batin,” kata Mahrus yang biasanya selalu bicara kritis tapi
kali ini tampil agak kalem.
Mahrus menjelaskan, kata “membantai” dan “pencerahan”
memang bermakna dikotomis. Bagaimana mungkin sesuatu yang menyakitkan hati
dapat menawarkan suasana pencerahan?
“Maaf, kedua istilah ini sengaja saya
gunakan. Tujuannya perspektif, yakni mencoba menengarai pandangan ketiga
pembincang dengan konsepsi penulisan karya prosais Andi Ruhban,” kata Mahrus.
Buku “Balutan Asmara La Ruhe” (berisi 40
judul kumpulan surat cinta), katanya, tergolong karya prosa impresif yang
berbicara tentang kesadaran batin seorang makhluk yang sedang jatuh cinta.
Anil Hukma, seorang penyair yang juga
hadir di acara itu, menyebutnya “seni bercinta” lewat literasi surat-surat yang
dibukukan. Deskripsi batin melalui surat cinta itu, bagi Mahrus Andis,
tergolong karya sastra yang indah.
Di tataran inilah buku tersebut tampil
menjadi hiburan yang mencerahkan kesadaran manusiawi, terutama bagi para remaja
yang membacanya. Menu cinta, rindu, sedih, bahkan luka yang mematikan, diramu
cukup rapi melalui ungkapan-ungkapan puitis.
Secara ideologis, memang terasa buku ini
agak ranggas menyentuh dimensi universal tentang filsafat hidup, kemanusiaan
dan takdir ilahiah. Buku ini tidak sama dengan novel ideologi atau kumpulan
surat-surat cinta Kahlil Gibran dan Jhon Lennon, seperti yang dicontohkan
Yudhistira Sukatanya.
“Bahkan, kritik detail tentang struktur
bahasa dan tata penulisan yang minim teknik pembukuan, oleh Rusdin Tompo
bersama Goenawan Monoharto, cukup membuka mata batin kita untuk menyimpulkan
suatu penilaian, bahwa buku ‘Balutan Asmara La Ruhe’ masih menuntut proses
penggarapan yang lebih intens dan kreatif. Di posisi inilah saya menilai bahwa
ketiga pembincang tersebut ibarat hakim yang sedang membantai penulis sebagai
terdakwa di peradilan literasi,” tutur Mahrus.
Terlepas dari semua tanggapan yang
menyembul dalam diskusi, Mahrus menilai karya Andi Ruhban ini cukup “menyakitkan”
secara ideologis. Namun, dari dimensi kontekstual, buku ini menawarkan
pencerahan batin yang indah, khususnya di hati penulis dan para pembaca yang “sepengalaman”
dengan misi surat tersebut.
Bukankah ada aforisme di masa remaja yang
berbunyi: “Hati ini teramat pedih kau lukai, tapi aku petik kesunyian yang
nikmat untuk bekal mengadu kepada alam.”
Rusdin Tompo, Yudhistira Sukatanya, dan Goenawan
Monoharto selaku pembincang buku, kata Mahrus, telah melakukan tupoksinya
dengan baik.
“Mereka membantai dari sisi format literatif, namun sesungguhnya, mereka pun membangkitkan rasa seni bercinta di hati Andi Ruhban, sekaligus menuntun pembaca untuk menulis karya sastra yang patuh pada konvensi bahasa (signalling system) walaupun dalam bentuk stilisasi surat-surat cinta platonis,” kata Mahrus.***
......
Tulisan bagian 4:
