Kotak Pandora Surat Cinta yang Terbuka

Dari kiri ke kanan, Goenawan Monoharto, Yudhistira Sukatanya, dan Rusdin Tompo tampil sebagai pembicara dalam Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” karya Andi Ruhban, di Rumah De La Macca Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 

-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 23 Agustus 2025

 

Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” (4):

 

Kotak Pandora Surat Cinta yang Terbuka

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

 

Pernahkah Anda fomo bin kepo dan bertanya-tanya, apa yang membuat kumpulan surat cinta menarik dibaca? Bukankah itu hanya beberapa tulisan yang mengungkapkan curhat pribadi, bersifat ekslusif dan disimpan dengan rahasia?

Pertanyaan itu dikemukakan Yudhistira Sukatanya dalam Bincang Buku “Balutan Asmara La Ruhe” karya Andi Ruhban, di Rumah De La Macca Jalan Borong Raya 75A, Makassar, Jumat, 15 Agustus 2025, yang diadakan oleh Forum Sastrawan Indonesia Timur (Fosait).

“Buku kumpulan surat cinta yang berjudul Balutan Asmara La Ruhe ini apa layak dibaca? Jika ya, kenapa tulisan-tulisan intim itu layak dibaca, dan apa yang bisa kita peroleh dari membacanya? Apakah buku ini perwujudan dari antologi surat cinta yang baik, enak dibaca dan perlu?” Yudhistira melanjutkan pertanyaannya.

Sutradara teater, sastrawan dan budayawan kembali mengajukan pertanyaan, apakah isi buku yang ditulis oleh La Ruhe (Andi Ruhban) tersebut benar-benar berisikan ungkapan perasaan yang paling mengetarkan hati dengan jalinan kata romatis, yang paling rahasia, romantika yang tak sama dengan apa yang pernah diungkapkan orang lain?

“Apakah buku yang berjudul Balutan Asmara La Ruhe patut diterbitkan?” tanya Yudhistira lagi yang tampil sebagai pembicara bersama Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Sulawesi Selatan) dan Goenawan Monoharto (sastrawan, seniman dan penerbit), serta dipandu oleh Ishakim (seniman).

Bincang buku dihadiri sejumlah seniman, penyair, budayawan dan wartawan antara lain Mahrus Andis (kritikus sastra), Muhammad Amir Jaya (Presiden Fosait), Anwar Nasyaruddin, Syahril Rani Patakaki, Anil Hukmah, Asnawin Aminuddin, Bahar “Petta Puang” Merdhu, Arwan Awing, Syarif Liwang, dan Rahman Rumaday.

Mengintip, menyibak, menggeledah dan menelaah teks pada 116 lembar-lembar buku “Balutan Asmara La Ruhe” yang memuat 40 judul tulisan, menjadi cara Yudhistira membincangkannya dengan penasaran guna menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan itu.

Pada lembar pengantar buku “Balutan Asmara La Ruhe” dengan jelas La Ruhe menyatakan bahwa surat-suratnya bergaya akrostik.

“Akrostik sering digunakan untuk menyampaikan pesan tersembunyi, mengungkapkan perasaan, atau sebagai sarana kreatif dalam menulis kalimat atau puisi,” kata Yudhistira.

Akrostik sudah ada sejak zaman Aratus, penyair didaktik abad ke-3 SM, yang puisinya ditiru oleh Cicero dan Virgil. Gaya ini ditemukan dalam karya sastra kuno Yunani dan Romawi.

Ia menjelaskan, akrostik adalah dimana pada sebuah awal bait atau paragraph kalimat baru, huruf pertamanya menampilkan sebuah kata atau abjad pilihan. Atau pada setiap barisnya huruf awalnya kemudian membentuk sebuah kata atau pesan tertentu ketika dibaca secara vertikal.

Kata Akrostik berasal dari kata Prancis acrostiche dari kata Latin pasca-klasik acrostichis, dari kata Yunani Koine. Dalam model ini, nama subjek dieja secara vertikal, dengan setiap huruf memulai baris baru puisi.

Selama abad pertengahan, puisi akrostik terus populer, dengan banyak penyair menggunakannya sebagai cara untuk mengekspresikan pengabdian religius mereka sebagaimana terdapat contohnya dalam Alkitab Ibrani, dari Kitab Mazmur hingga Kitab Ratapan.

“Jadi, tidak tepat jika dikatakan akrostik baru populer di abad ke-20, meski pun di Indonesia popular dalam puisi pada sekira tahun 80-90-an,” kata Yudhistira.

Pada tulisan gaya akrostik biasa, huruf pertama setiap baris membentuk kata atau pesan Ketika dibaca “menurun”. Kemudian akrostik terbalik, huruf terakhir setiap baris membentuk kata atau pesan. Ada pun akrostik ganda, mengkombinasi akrostik biasa dan terbalik  dalam satu puisi.

Fungsi dari akrostik, kata Yudhistira, digunakan dengan tujuan untuk pengingat informasi (teknik mnemonik); Menyampaikan pesan tersembunyi atau pesan rahasia terencana; Menambah nilai artistik dalam puisi; Melatih kreativitas dan imajinasi.

“Lazim diketahui bahwa surat cinta adalah sebuah cara ungkapkan perasaan yang ditulis oleh seseorang. Umumnya ditulis guna menyatakan perasaan sayang, cinta, suka, kagum, rindu, damba kepada kekasih-orang yang dicinta. Surat cinta bisa ditulis dalam berbagai bentuk, mulai dari pesan cinta biasa dalam kalimat pendek dan sederhana hingga rangkaian kalimat panjang yang menjelaskan ungkapan perasaan,” kata Yudhistira.

 

Surat-surat Cinta Khalil Gibran

 

Ia kemudian mengemukakan surat-surat Khalil Gibran seperti The Broken Wings – Sayap-sayap Patah dan The Prophet- Sang Nabi, ditujukan kepada sejumlah wanita. Surat-surat tersebut telah menarik perhatian pembaca di seantero dunia sebagai karya sastra.

“Surat-surat Khalil Gibran itu tak hanya mengungkap hubungan asmara Gibran, tapi juga sisi lain kehidupan Gibran yang paling rahasia, yang tak pernah terungkap sebelumnya. Dalam surat-surat itulah terungkap betapa romantisnya seorang Khalil Gibran dan betapa dalamnya cintanya kepada para kekasihnya,” ulas Yudhistira.

Lewat surat-surat itu, pembacanya jadi paham cinta seperti apa yang dibayangkan dan diinginkan Sang Pujangga. Dan dari situ juga bisa memahami kenapa walau demikian cinta, para wanita kekasih Gibran itu begitu teguh dalam tapi menolak menikah dengannya.

“Bagaimana dengan buku ‘Balutan Asmara La Ruhe’? Seperti apa yang terlihat, surat-surat yang menjadi bahan utama isi buku ini semula adalah hasil tulisan tangan dan ketikan. Ungkapan perasaan kepada sejumlah wanita itu ditulis dengan bahasa semi formal. Uniknya adalah karena ada sikap konsisten dalam menggunakan gaya akrostik,” kata Yudhistira.

Korespondensi La Ruhe dengan Amriany, katanya, terekam pada surat-surat pilihan bagian pertama. Setidaknya akrostik nama tersebut memicu inspirasi pada empat surat di bagian awal buku “Balutan Asmara La Ruhe”.

“Uniknya, ungkapan perasaan yang tertulis dalam surat La Ruhe terkesan sebagai cinta platonis,” ujar Yudhistira.

Istilah cinta platonis berasal dari filsuf Yunani, Plato, yang percaya bahwa cinta sejati adalah cinta yang didasarkan pada pemahaman dan penghargaan terhadap seseorang, bukan hanya pada daya tarik fisik atau seksual.

Cinta platonis menggambarkan hubungan emosional yang mendalam dan penuh kasih sayang antara sepasang insan.

“Lalu siapa pula penerima surat-surat selanjutnya? Ini perlu disingkap bersama. Ada nama-nama wanita lain, seperti Tasnim, Narni, Halimah, Yuni, Selfi, Sabri Aksa. Lalu siapa di antara sejajaran nama-nama ini yang paling sanggup menaklukkan hati sang playboy- La Ruhe? Jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Tanyai La Ruhe,” kata Yudhistira sambil tersenyum.

Dengan terbitnya buku “Balutan Asmara La Ruhe”, maka pembaca boleh dikata beruntung karena telah diajak oleh La Ruhe untuk membuka pintu almari kenangan, menyibak isi almari dan disilakan untuk mengubek-ubek arsip goresan ungkapan isi hatinya.

Apakah “Balutan Asmara La Ruhe” layak dibaca? Yudhistira mengatakan jelas layak, karena kumpulan surat cinta itu terbilang unik, ibaratnya setumpuk harta Qarun dalam kotak Pandora yang pernah lama tersimpan kemudian terenduskan keberadaanya secara sensasional.

“Bagi saya, surat-surat dalam antologi ‘Balutan Asmara La Ruhe’, ibaratnya setumpuk harta dalam kotak pandora itu. Arsip lama yang menyingkap keindahan bahasa, kejujuran, keluguan, motivasi, dan inspirasi ala masanya,” kata Yudhistira.

Meski kadang terbaca bagaimana La Ruhe bersikap majenun saat merangkai kalimat dalam beberapa paragraphnya. Mungkin karena terlalu bersemangat atau mabuk cinta hingga membuatnya tak selalu bisa fokus memformulasikan apa yang ingin dikatakan dan bagaimana menggoreskannya pada surat secara terukur, terstruktur dan enak dibaca.

“Sejumlah kerancuan berbahasa dapat dijumpai dalam beberapa tuturannya. Namun, apa pun itu, buku ‘Balutan Asmara La Ruhe’ kini mengajak pembacanya bertamasya ke masa lampau untuk menyibak fenomena jiwa pemuda La Ruhe sebagai pesandiwara cinta. Begitulah cara sang avonturir ungkapkan babak cintanya. Setiap masa, setiap periode, setiap perjumpaan dengan aktris lain akan maujud dalam kisahan berbeda sesuai konteks relasinya. ‘Balutan Asmara La Ruhe’ bisa jadi bacaan renyah bagi remaja yang sedang menggantang pengalaman dan pemahaman tentang fenomena cinta ala masa lalu,” tutur Yudhistira. (bersambung)


Tulisan bagian 5:

“Balutan Asmara La Ruhe” Tawarkan Pencerahan Batin yang Indah

Tulisan bagian 3:

Puluhan Perempuan Dikirimi Surat Cinta, Semua Menolak

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama