PEDOMAN KARYA
Senin, 15 September 2025
Medsos dan Opini
Bocil
Oleh: Usman Lonta
Dalam perjalanan pulang dari kampung
halaman isteri tercinta, saya dikagetkan oleh pandangan seorang bocil yang
usianya sekitar 11 tahunan, namanya Aura. Sepanjang perjalanan saya menikmati
ayunan gelombang yang menghantam fery yang kami tumpangi.
Menjelang fery sandar di Dermaga Siwa,
sang bocil ini mengatakan bahwa dia pernah melihat buaya di muara sungai di
kampung kelahirannya. Buaya tersebut sangat ganas memakan apa saja termasuk
ternak warga.
Saya mencoba memotong pembicaraannya
dengan pertanyaan apakah buaya juga memakan manusia? Lalu Aura menjawab iya. Saya
tanya lagi apakah buaya juga makan presiden? Dia bilang iya, tapi presiden yang
dimakan adalah presiden yang suka berbohong. Kalau presiden jujur tidak dimakan
oleh buaya.
Sampai disini dialog saya dengan bocil
terhenti dan saya pun merenung, betapa dahsyatnya media sosial membentuk alam
bawah sadar manusia termasuk bocil tadi.
Kalau kita buka tiktok, IG, kita akan
menemukan komentar bocil yang kadang nyeleneh, bahkan di luar nalar orang
dewasa, misalnya riuhnya informasi dijagat raya tentang korupsi, tentang
ketidakadilan, tentang nepotisme dan lain lain, dengan enteng bocil berkata
bahwa pensiunkan saja mereka biar diganti oleh player mobile legends. Agak
absurd memang, tapi terkadang jauh lebih simpel daripada setumpuk rekomendasi
yang dikeluarkan oleh kelompok pakar untuk membenahi masalah tersebut di negeri
ini.
Coba bayangkan seorang bocil bikin video
dengan caption: “Guys negara bangkrut, jangan-jangan bentar lagi top up ML juga
dilarang”. Vidio ini mendapatkan views sekitar 2 jutaan, sementara analisis
dari ekonom tentang krisis global mendapatkan views 200 san, aneh kan?
Bocil berpotensi menjadi influencer yang
bekerja tanpa kontrak. Memang sangat disayangkan, algoritma publik jauh lebih
doyan terhadap sensasi yang receh daripada substansi, tapi itulah demokrasi
digital.
Namun kalau direnungi secara mendalam,
opini bocil punya nilai, punya makna, di dalamnya da kejujuran, ada keberanian.
Misalnya riuh isu tentang krisis fiskal, kenaikan pajak bumi bangunan di
beberapa daerah, kenaikan tunjangan perumahan Anggota DPR, Bocil hanya bilang: “Anjay
pemerintah noob banget” (pemerintah nggak becus sih?). Simpel, lugas dan
menusuk kalbu. Mereka komentar tanpa drama, tanpa basa-basi, dan menurut saya
ini adalah salah satu bentuk literasi demokrasi.
Namun demikian, komentar bocil, jangan
dianggap remeh. Bocil hari ini adalah politisi hari besok. Bedanya, kalau di
medsos mereka debat pakai kata “anjay” , “guys”, “noob,” dan istilah-istilah
gaming lainnya, di parlemen nanti tinggal diganti menjadi: “Yang Terhormat.”
Pola sama, hanya kamus yang berbeda.
Mungkin 20 tahun lagi kita akan lihat orasi politik dengan gaya live streaming:
“Halo guys, balik lagi sama gue, hari ini kita sidang RAPBN. Jangan lupa like,
share, dan subscribe channel DPR.” Dan percayalah, bocil yang sekarang hobi
komen receh, bisa jadi ketua fraksi yang seriusdi masa yang akan dating.
Medsos bukan lagi sekadar ruang hiburan,
tapi arena demokrasi digital. Bocil, meskipun kecil, usianya dianggap belum
matang, tapi punya suara yang besar di trending topic. Mereka mungkin nggak
ngerti ekonomi makro, tapi ngerti cara bikin netizen lebih kritis.
Jadi, sebelum menyepelekan komentar bocil,
ingatlah: mungkin justru dari mulut bocil itulah lahir ide-ide segar yang nggak
terpikirkan oleh orang dewasa yang kepalanya sudah sesak dengan pikiran
terhadap masa depan anak dan generasi mereka.
Karena di era medsos, demokrasi bukan lagi
“satu orang, satu suara,” tapi “satu jempol, satu trending.” Dan bocil punya
jempol tercepat di antara kita semua. Wallahu a’lam bishshawab,
Siwa, 12 September 2025