Oxygen Poetry, Tubuh, dan Dialog dengan AI

Robbyan Abel Ramdho (kiri) dan Agus K Saputra.

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 16 September 2025

 

Oxygen Poetry, Tubuh, dan Dialog dengan AI

 

Catatan Agus K Saputra

 

Pada sesi Artist Talk Oxygen Poetry karya Mantra Ardhana di Rplay Lombok (08/09), Robbyan Abel Ramdhon, penulis buku: “Tuhan Bersembunyi Seperti Kancing Cadangan” (2025), melemparkan sejumlah pertanyaan yang menyingkap ruang diskusi filosofis.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya menguji konsistensi tema pameran, tetapi juga menyinggung isu yang lebih luas: relasi manusia dengan tubuh, teknologi, musik, huruf, hingga persoalan identitas seni rupa di era kecerdasan buatan (AI).

Dialog ini memperlihatkan bahwa pameran Oxygen Poetry bukan sekadar ajang estetika, melainkan juga peristiwa filosofis. Ia membuka kemungkinan untuk memahami seni sebagai napas kehidupan, sebagai ungkapan syukur, sekaligus sebagai medan pertemuan antara kesadaran manusia dan algoritma mesin.

Abel mengawali dengan pertanyaan tentang makna “oxygen” dalam pameran tersebut. Mengapa Mantra memilih kata oxygen sebagai tajuk pameran? Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh akar filosofis representasi: apakah oxygen hadir sebagai unsur biologis yang menopang hidup, ataukah sebagai metafora tentang sesuatu yang lebih subtil—napas, kebebasan, bahkan inspirasi?

Mantra menegaskan bahwa melukis adalah ungkapan terima kasih kepada oxygen. Dari sini kita membaca bahwa oxygen diperlakukan bukan semata-mata sebagai unsur kimia, melainkan sebagai simbol keterhubungan manusia dengan kosmos. Oxygen adalah syarat kehidupan, dan seni adalah syukur yang mengambil bentuk visual.

Namun, oxygen juga menyiratkan sesuatu yang tak kasat mata, tetapi vital. Sama halnya dengan seni: ia mungkin tidak selalu fungsional, namun justru itulah yang membuatnya penting. Oxygen dan seni sama-sama memberi kehidupan dengan cara yang halus, hampir tak terasa, namun esensial.

Abel kemudian menyinggung representasi tubuh dalam karya Mantra. Tubuh, sepanjang sejarah seni, selalu menjadi medan tafsir. Ia bisa dimaknai sebagai objek biologis, simbol kultural, bahkan arena politik.

Mantra menghadirkan tubuh manusia bukan semata-mata untuk menggambarkan bentuk, melainkan untuk memproyeksikan pengalaman kultural dan filosofis. Tubuh adalah jejak zaman.

Seperti ditegaskan filsuf fenomenologi Maurice Merleau-Ponty, tubuh adalah medium utama manusia hadir di dunia. Dengan demikian, tubuh yang digambarkan Mantra bukan sekadar figur, melainkan teks yang bisa dibaca—tentang identitas, kerentanan, bahkan perlawanan.

Namun Abel mencatat ketiadaan representasi makhluk non-manusia, seperti binatang, dalam kanvas Mantra. Apakah ini menandakan kecenderungan antroposentrisme, bahwa manusia ditempatkan terlalu superior dalam rantai kehidupan? Pertanyaan ini penting, sebab seni tidak hanya merayakan manusia, tetapi juga menimbang kembali posisinya dalam ekosistem yang lebih luas.

 



AI: Antara Alat dan Kawan Dialog

 

Poin diskusi berikutnya menyentuh keterlibatan AI dalam proses kreatif Mantra. Abel mempertanyakan: apakah AI hanya alat, atau bisa menjadi kawan dialog dalam proses berkarya?

Pertanyaan ini menyentuh problem klasik filsafat teknologi. Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology mengatakan bahwa teknologi bukan sekadar instrumen, melainkan cara tertentu menyingkap dunia. AI, dalam hal ini, tidak hanya membantu, melainkan menciptakan ruang refleksi baru—sebuah cermin non-manusia yang memantulkan sisi lain dari manusia.

Kekhawatiran muncul ketika Abel menyebut kemungkinan hilangnya pengalaman empiris. Jika karya diciptakan melalui AI, apakah pengalaman empiris seniman hilang? Di sini, prompt AI bisa dipahami sebagai jembatan: sebuah transformasi dari pengalaman empirik ke bentuk digital. Bukan penghapusan, melainkan transposisi.

Abel juga menyinggung sifat algoritma yang bergerak tanpa henti, membuat karya seni seolah tidak pernah selesai. Pandangan ini membuka horizon baru: seni bukan produk final, melainkan proses improvisasi yang tak terbatas. Dengan AI, karya bisa hidup terus, berubah, bahkan melampaui intensi awal seniman.

 

Musik, Huruf, dan Sugesti

 

Abel mencatat bahwa Mantra menempatkan musik sebagai elemen penting. Musik, berbeda dengan lukisan yang representatif, bersifat sugestif. Jika lukisan diperlakukan seperti musik, ia menjadi ruang resonansi emosional yang melampaui bentuk visual.

Selain itu, Abel tertarik pada huruf-huruf ciptaan Mantra yang tidak dimaksudkan untuk komunikasi. Huruf-huruf itu bersifat mantra: mereka berbicara hanya dengan penciptanya.

Pertanyaan apakah huruf-huruf itu pernah dibunyikan, atau bahkan dilatih ke dalam AI, membuka ruang eksperimentasi baru. Mungkin di masa depan, seni tak hanya mencipta huruf, tetapi juga membiarkan mesin belajar dari bahasa privat manusia.

Di sinilah seni berhubungan dengan ketidaksadaran. Huruf dan musik, seperti mimpi, bergerak dalam ruang bawah sadar yang sulit dipahami secara logis.

 

Identitas Seni di Era AI

 

Abel mengaitkan diskusi ini dengan sejarah seni rupa Indonesia. Pada masa awal revolusi, ada perdebatan tentang identitas seni rupa Indonesia. Kini, di era AI, batas geografis luluh. AI dapat melintasi gaya Barat dan Timur sekaligus, tanpa harus tunduk pada teritori.

Hal ini menghadirkan paradoks: di satu sisi seni dibebaskan dari sekat geografis; di sisi lain, ada risiko hilangnya kekhasan lokal. Tantangan bagi seniman adalah menjaga identitas sambil membuka diri pada kebebasan lintas batas. Mungkin identitas seni rupa di era AI tidak lagi statis, melainkan cair—sebuah identitas algoritmastik yang bisa diprediksi sekaligus tidak terduga.

Salah satu pernyataan Abel yang paling berkesan adalah: “ketika banyak hal milik kita dibajak oleh industri, ada satu yang tidak yaitu ketidaksadaran yang kita punya. Bahkan sekarang ketidaksadaran kita saling terhubung.”

Pernyataan ini membawa kita pada filsafat psikoanalisis. Bagi Freud, ketidaksadaran adalah sumber dorongan manusia; bagi Jung, ada pula collective unconscious—lapisan terdalam yang bersifat universal. Abel menegaskan bahwa bahkan di era ketika industri mengkomodifikasi hampir semua hal, ketidaksadaran tetap menjadi milik kita yang paling otentik.

Namun, ia juga menambahkan bahwa ketidaksadaran kini saling terhubung. Ini menarik, sebab dalam jaringan digital global, mimpi, hasrat, dan imajinasi manusia dapat beresonansi melampaui batas individu. AI, mungkin, adalah katalis yang mempercepat keterhubungan ketidaksadaran kolektif itu. Maka seni tidak lagi hanya tentang individu, tetapi tentang resonansi antar-kesadaran—sebuah ekologi bawah sadar yang saling bersinggungan.

 

Seni sebagai Napas Panjang

 

Diskusi Abel dan Mantra memperlihatkan seni sebagai ruang pertemuan multidimensi: antara oxygen sebagai simbol kehidupan, tubuh sebagai teks kultural, AI sebagai cermin non-manusia, musik dan huruf sebagai pintu menuju ketidaksadaran, serta identitas yang cair di era global.

Pertanyaan Abel tentang siapa yang menciptakan pengetahuan—manusia atau AI—dapat dijawab dengan refleksi bahwa pengetahuan lahir dalam dialog. Manusia menciptakan AI, lalu AI memantulkan sesuatu kembali kepada manusia. Pengetahuan bukan produk satu arah, melainkan hasil perjumpaan.

Dan ketika Abel menutup dengan kerinduan masa kecil yang tak bisa diartikulasikan dalam karya visual, kita diajak kembali pada sumber: seni adalah usaha untuk mengartikulasikan yang tak terucapkan. Seperti oxygen, ia tidak terlihat, tetapi menjadi napas panjang kehidupan—menjaga kita tetap hidup, meski sering terlupakan.

 

#Akuair-Ampenan, 16-09-2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama