![]() |
| Pada 10 Oktober 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan penjelasan resmi mengenai posisi utang pemerintah yang mencapai Rp9.138,05 triliun. |
-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 12 Oktober 2025
Pengelolaan Utang
Negara di Tengah Tantangan Ekonomi Nasional
Catatan Agus K
Saputra
Isu mengenai utang
pemerintah selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam konteks kebijakan
fiskal dan perekonomian nasional. Pada 10 Oktober 2025, Menteri Keuangan
Purbaya Yudhi Sadewa memberikan penjelasan resmi mengenai posisi utang
pemerintah yang mencapai Rp9.138,05 triliun.
Angka tersebut
tentu menimbulkan kekhawatiran di sebagian kalangan masyarakat, mengingat
nominalnya yang sangat besar. Namun, menurut Purbaya, besaran tersebut masih
dalam batas aman karena rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya
mencapai 39,86%, jauh di bawah batas maksimal 60% PDB sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Melalui pandangan
ini, penting untuk menelaah secara mendalam bagaimana posisi utang tersebut
dikelola, bagaimana indikator rasio utang digunakan untuk menilai kesehatan
fiskal, serta bagaimana strategi pemerintah dalam menjaga keberlanjutan utang
tanpa menimbulkan beban berat bagi generasi mendatang.
Menteri Keuangan
Purbaya menegaskan bahwa ukuran keamanan utang tidak dapat diukur hanya
berdasarkan nominal totalnya, melainkan harus dilihat dalam konteks
perbandingan dengan kapasitas ekonomi nasional, yaitu melalui rasio utang
terhadap PDB (Debt to GDP Ratio). Dengan rasio 39,86%, Indonesia termasuk dalam
kategori negara dengan tingkat utang yang moderate dan masih berada pada level
aman secara internasional.
Sebagai
perbandingan, beberapa negara maju seperti Jepang memiliki rasio utang terhadap
PDB yang mencapai lebih dari 200%, sementara Amerika Serikat berada di kisaran
120%. Negara-negara Eropa seperti Italia dan Prancis pun berada di atas 90%.
Oleh karena itu, secara objektif, posisi Indonesia saat ini masih sangat
terkendali.
Purbaya
menegaskan, persepsi negatif terhadap utang pemerintah sering kali muncul
karena masyarakat hanya melihat nominalnya tanpa memahami konteks makroekonomi
di baliknya. Dalam konteks kebijakan publik, utang bukanlah sesuatu yang secara
inheren buruk; yang menjadi persoalan adalah bagaimana utang itu digunakan dan
seberapa produktif hasilnya bagi pembangunan nasional.
Berdasarkan data
Kementerian Keuangan per Juni 2025, total utang pemerintah sebesar Rp9.138,05
triliun terdiri atas dua komponen utama, yakni pinjaman pemerintah dan surat berharga
negara (SBN).
Pinjaman
Pemerintah
Total pinjaman
mencapai Rp1.157,18 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp1.108,17
triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp49,01 triliun. Komponen pinjaman
luar negeri ini menunjukkan masih adanya ketergantungan terhadap pembiayaan
eksternal, meskipun porsinya relatif kecil dibandingkan total keseluruhan
utang.
Surat Berharga
Negara (SBN)
SBN mendominasi
dengan total Rp7.980,87 triliun. Dari jumlah ini, SBN berdenominasi rupiah
mencapai Rp6.484,12 triliun, sedangkan SBN berdenominasi valuta asing (valas)
sebesar Rp1.496,75 triliun. Dominasi SBN dalam rupiah menunjukkan upaya
pemerintah untuk meminimalkan risiko nilai tukar dan menjaga stabilitas fiskal
domestik.
Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa pemerintah lebih mengandalkan instrumen keuangan
domestik untuk pembiayaan kebutuhan negara dibandingkan dengan pinjaman luar
negeri. Hal ini menunjukkan arah kebijakan yang lebih hati-hati dan berdaulat
dalam pengelolaan utang.
Purbaya Yudhi
Sadewa menegaskan bahwa pemerintah akan mengurangi penerbitan utang di masa
mendatang melalui optimalisasi penerimaan negara. Strategi ini dilakukan untuk
menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembiayaan dan keberlanjutan fiskal.
Menurutnya, utang
akan terus dikelola secara hati-hati (prudent fiscal management) dengan
mempertimbangkan prinsip efisiensi, produktivitas, dan transparansi penggunaan
dana. Ia menekankan bahwa setiap rupiah dari hasil pinjaman harus digunakan
secara efektif, tanpa adanya kebocoran atau penyimpangan.
Dalam konteks
kebijakan fiskal jangka panjang, strategi pemerintah mencakup tiga arah utama:
(1) Peningkatan penerimaan
negara melalui reformasi perpajakan, perluasan basis pajak, dan penguatan
sistem administrasi fiskal digital.
(2) Efisiensi belanja negara,
dengan memprioritaskan program-program produktif yang berdampak langsung
terhadap kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
(3) Manajemen utang yang
berkelanjutan, dengan memperpanjang tenor, mengendalikan biaya bunga, serta
menjaga stabilitas nilai tukar melalui dominasi instrumen dalam negeri.
Dengan strategi
tersebut, pemerintah berharap dapat menurunkan kebutuhan pembiayaan dari utang
tanpa mengorbankan kualitas pembangunan.
Dalam wacana
publik, utang sering kali diidentikkan dengan beban ekonomi. Namun, dalam
konteks negara berkembang seperti Indonesia, utang justru menjadi instrumen
strategis untuk mendorong pertumbuhan, mempercepat pembangunan infrastruktur,
serta meningkatkan daya saing nasional.
Purbaya
mengingatkan bahwa persepsi negatif terhadap utang perlu diluruskan. Yang harus
menjadi perhatian bukanlah besar kecilnya nominal utang, tetapi bagaimana
pemerintah mampu membayar kembali (debt sustainability) dan memastikan manfaat
ekonomi dari hasil utang tersebut.
Utang yang
produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan infrastruktur,
pendidikan, kesehatan, serta inovasi teknologi. Sebaliknya, utang yang tidak
produktif justru dapat memperbesar beban fiskal tanpa memberikan dampak ekonomi
yang signifikan. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam
penggunaan dana pinjaman menjadi faktor kunci dalam menjaga kepercayaan publik
dan investor.
Simpulan
Secara
keseluruhan, posisi utang pemerintah Indonesia per Juni 2025 yang mencapai Rp
9.138,05 triliun masih berada dalam batas aman baik dari perspektif hukum
maupun standar internasional. Dengan rasio 39,86% terhadap PDB, Indonesia masih
jauh dari ambang batas risiko fiskal yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi
nasional.
Kebijakan
pengelolaan utang yang diusung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan
pembiayaan dan keberlanjutan fiskal jangka panjang. Fokus pada efisiensi,
optimalisasi penerimaan, serta pencegahan kebocoran menjadi pondasi utama dalam
menjaga kredibilitas fiskal negara.
Di tengah dinamika
global dan tekanan ekonomi pascapandemi, kemampuan Indonesia dalam
mempertahankan rasio utang pada level moderat mencerminkan ketahanan ekonomi
nasional yang kuat. Dengan strategi pengelolaan yang hati-hati, transparan, dan
produktif, utang negara dapat bertransformasi dari sekadar beban menjadi motor
pembangunan berkelanjutan bagi masa depan Indonesia.
#Akuair-Ampenan,
12-10-2025
