Angin Laut Penuh Inspirasi


Ia memandang ke langit dan melihat langit dipenuhi bintang-bintang yang bercahaya, berkedip-kedip bagaikan mutiara keemas-emasan yang ditempel satu persatu di atas permadani biru. Ada perasaan nikmati dan syahdu menyaksikan pemandangan di langit, terlebih dengan adanya bulan purnama yang mulai bersandar ke ufuk timur. Hati sanubari Sahban pun mulai bersenandung.





-------

PEDOMAN KARYA
Kamis, 20 Desember 2018


Biografi Sahban Liba (9):


Angin Laut Penuh Inspirasi


Penulis: Hernita Sahban Liba

Setelah mendapatkan izin dan restu kedua orangtuanya, serta dukungan dari saudara-saudaranya, Sahban pun mengurus segala yang dibutuhkan untuk berangkat ke Surabaya, mulai dari pakaian dan bekal dalam perjalanan, hingga keterangan sekolah dari SMP Muhammadiyah.

Hari bahagia itu pun datang. Pagi itu, 07 Maret 1954, Sahban pun berangkat ke Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar. Sebuah kapal yang bersandar sejak pagi, telah menunggu kedatangan Sahban bersama calon penumpang lainnya. Kapal itu akan berlayar ke Surabaya.

Sahban akan berangkat ke Surabaya untuk mengikuti tes penerimaan calon siswa baru PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri), yang akan dilaksanakan pada tanggal 01 April 1954. Ia hanya diantar oleh kakaknya ke pelabuhan.

Kedua orangtuanya, yakni ayahnya, Ambe’ Suba, dan ibunya, Indo Empa, tidak turut mengantar. Keduanya bahkan hanya mengiringinya dengan do’a dari Kampung Kalosi, di Enrekang, yang jaraknya sekitar 265 kilometer dari Kota Makassar.

Selain mengiringinya dengan do’a, kedua orangtuanya juga memberikan bekal uang sebanyak Rp250 dan tiga lembar sarung untuk dijual apabila kehabisan yang. Ongkos kapal laut ketika itu Rp 110, sehingga uang yang tersisa untuk bekal hidup di Surabaya hanya sebesar Rp140. Pada saat itu, nilai satu dollar AS setara dengan Rp11,4 (nilai kurs dollar AS per akhir 2018, yakni 1 USD = Rp14.487).

Saat berada di Pelabuhan Soekarno-Hatta, tak satu kata pun keluar dari mulut Sahban. Hari itu, ia juga untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Pelabuhan Soekarno-Hatta. Sahban dan kakaknya  hanya saling pandang dan sesekali menoleh ke arah kapal yang akan berangkat ke Surabaya.

Sahban kemudian bersalaman dengan kakaknya yang mengantar. Tidak tampak kesedihan di mata mereka. Semuanya serba mendadak, sehingga yang muncul adalah keheran-heranan dan tanda tanya dalam benak masing-masing. Pertanyaan yang muncul yaitu “Apa yang akan terjadi setelah Sahban berangkat ke Surabaya?”

Para penumpang mulai bergegas naik ke kapal setelah sirine berbunyi tiga kali. Sahban pun ikut bersama penumpang lainnya naik ke atas kapal. Tak lama kemudian, Sahban melambaikan tangannya ke arah kakaknya. Begitu pun dengan penumpang. Mereka saling melambaikan tangan dengan keluarga dan kerabat yang mengantar ke pelabuhan.

Sahban sama sekali tidak menangis. Ia terlalu tegar untuk menangis, apalagi hanya diantar oleh kakaknya. Pikirannya lebih banyak dipenuhi berbagai pertanyaan tentang Kota Surabaya dan persiapannya menghadapi tes penerimaan calon siswa baru PGAN.

Kapal pun perlahan menuju laut lepas tanpa batas sejauh mata memandang. Pecahan ombak sekali-sekali berbunyi, memecahkan keheningan penuh tanda tanya. Seribu satu pertanyaan silih berganti, merasuk ke dalam pikiran Sahban yang sedang kosong.

Malam pun mulai tiba. Badan yang beralaskan selembar tikar kumuh dan sebuah bantal bekas, mengantar Sahban terlelap tidur di atas dek. Ia telah kelelahan setelah melakukan persiapan sejak pagi.

Malam yang dingin dan angin laut yang berhembus sepoi-sepoi basah memberi inspirasi yang sangat berharga. Bermacam-macam rencana timbul dalam otak Sahban sebelum tertidur pulas. Rencana-rencana ini disusun guna menunjang cita-cita Sahban ke depan.

Sekitar pukul 02.00 dinihari, Sahban terbangun dari tidurnya yang pulas. Ia memandang ke langit dan melihat langit dipenuhi bintang-bintang yang bercahaya, berkedip-kedip bagaikan mutiara keemas-emasan yang ditempel satu persatu di atas permadani biru.

Ada perasaan nikmati dan syahdu menyaksikan pemandangan di langit, terlebih dengan adanya bulan purnama yang mulai bersandar ke ufuk timur. Hati sanubari Sahban pun mulai bersenandung.

“Ya Allah, alangkah indahnya ciptaan-Mu ini. Ciptaan-Mu ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi umat manusia yang mensyukurinya,” ujar Sahban. Ia kemudian teringat akan ayat al-qur’an yang berbunyi: fabiayyi alaa’i rabbi kuma tukadzdziban. Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah lagi yang kamu dustakan?

Setelah merenung beberapa saat dalam pembaringan, Sahban berdiri dan langsung mengambil air wudhu untuk shalat malam. Shalat malam yang biasa Sahban laksanakan adalah shalat hajat, shalat tahajud, dan shalat Witir.

Shalat hajat dilakukan dua rakaat dengan bacaan Surah Al-kafirun sebanyak 10 kali pada rakaat pertama dan Surah Al-Ikhlas 10 kali pada rakaat kedua.

Selesai salam, Sahban sujud kembali dan  sujud membaca Allahhumma shalli ala habibika saidina Muhammad waala’ alihi wasohbihi wasallam (Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Sayyidina Muhammad dan keluarganya dan sahabatnya dan limpahkan baginya salam) sebanyak 10 kali.

Selanjutnya membaca Subhanallahi walhmdulillahi, wala’ilaha’ illallah wallahu akbar (maha suci bagi Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada satu Tuhan pun yang disembah kecuali Allah, dan Allah maha besar) sebanyak 10 kali.

Kemudian membaca Rabbana atina‘fidunya’ hasanatan, wa fil’ahirati hasanatan, waqina’ aza-bannar (Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa neraka) sebanyak 10 kali.

Setelah itu, Sahban membaca astagfirullah alazim, la’ilaha’ illallah wahdahu la-sarikallah, lahumu kulhamdu, wahyuyi’ wayumi-tu, wahua ala’ kulli syain qadir (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, Tiada Tuhan melainkan Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya adalah semua kerajaan dan puji-pujian, dan Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu) sebanyak 3 kali.

Selesai itu Sahban berdoa untuk keselamatan, kesehatan, dan kesuksesan dalam mencapai cita-cita ke Surabaya.

Setelah hajat, Sahban melanjutkan dengan tahajud sebanyak dua rakaat. Pada rakaat pertama, ia membaca ayat kursi sebanyak 10 kali. Pada rakaat kedua, ia membaca membaca Al-Ikhlas 10 kali. Setelah salam, ia melakukan sujud syukur dan meneruskan ke shalat witir sebanyak tiga rakaat.

Setelah selesai shalat, Sahban duduk bersila dan sekali lagi melantunkan doa kepada Allah SWT untuk ayah dan ibunya yang jauh di Kampung Kalosi. Dengan melaksanakan shalat tersebut, timbul perasaan berani, rasa optimisme, dan keyakinan akan berhasil, membuat pikirannya lebih tenang.

Sahban yakin melalui hembusan angin laut di atas kapal laut tersebut, Allah SWT akan memberikan pertolongan dengan memunculkan berbagai inspirasi yang akan mengantarkannya kepada kesuksesan dunia akhirat. (bersambung)


Editor: Asnawin Aminuddin

Artikel Terkait:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama