Puluhan Muslim Melarikan Diri Tinggalkan Mekah, Salah Satu Perjanjian Hudaibiyah Gugur

Abu Bashir tidak kembali ke Mekah, tetapi ia pergi ke daerah Al Ish. Tempat itu adalah jalur perdagangan Quraisy menuju Syam, tepat di tepi laut. Kepergian Abu Bashir ke daerah ini didengar oleh kaum muslimin yang tinggal di Mekah. Mereka juga mendengar betapa kagumnya Rasulullah ï·º pada keberanian Abu Bashir. Maka diam-diam 70 muslim yang selama ini hidup tertindas di Mekah pergi menyusul Abu Bashir. Abu Jandal tentu saja berada di antara mereka itu.

 


-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 02 Juni 2022

 

Kisah Nabi Muhammad SAW (123):

 

 

Puluhan Muslim Melarikan Diri Tinggalkan Mekah, Salah Satu Perjanjian Hudaibiyah Gugur

 

 

Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi

 

Kelompok Abu Bashir

 

Tidak lama kemudian datanglah Abu Bashir dengan membawa pedang terhunus. Abu Bashir tahu bahwa Rasulullah ï·º sangat teguh memegang perjanjian. Jika saat itu ia menetap di Madinah, Rasulullah ï·º pasti akan memulangkannya kembali.

Maka Abu Bashir pun berkata, “Rasulullah, jaminan tuan sudah terpenuhi dan Allah sudah melaksanakannya buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya ini, saya tetap bertahan supaya saya jangan dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama saya ini.”

Setelah berkata begitu Abu Bashir pergi meninggalkan Madinah. Rasulullah ï·º tahu maksud Abu Bashir. Beliau pun memandang kagum orang itu karena keberaniannya. Dalam hati Rasulullah ï·º mengharapkan Abu Bashir mempunyai anak buah.

Sesuai dugaan Rasulullah ï·º, Abu Bashir tidak kembali ke Mekah, tetapi ia pergi ke daerah Al Ish. Tempat itu adalah jalur perdagangan Quraisy menuju Syam, tepat di tepi laut. Kepergian Abu Bashir ke daerah ini didengar oleh kaum muslimin yang tinggal di Mekah. Mereka juga mendengar betapa kagumnya Rasulullah ï·º pada keberanian Abu Bashir.

Maka diam-diam 70 muslim yang selama ini hidup tertindas di Mekah pergi menyusul Abu Bashir. Abu Jandal tentu saja berada di antara mereka itu.

Ketika mereka tiba, kaum muslim yang tertindas itu mengangkat Abu Bashir sebagai pemimpin. Mulai sejak itulah mereka menyerang setiap kafilah dagang Quraisy yang lewat.

Ini berbahaya! Sangat berbahaya! gerutu seorang pemimpin Quraisy, “Kita tidak bisa menyalahkan Muhammad karena para pengikutnya itu tidak lari ke Madinah! Mau tidak mau kita harus meminta Muhammad menampung mereka ke Madinah agar jalur dagang kita aman!”

“Tapi itu tidak sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah,” kata yang lain.

“Kita terpaksa mengalah, tidak ada jalan lain, bukan!” kata yang pertama.

Akhirnya orang Quraisy meminta Rasulullah ï·º menerima Abu Bashir dan pasukannya. Mereka sadar bahwa orang yang imannya sangat kuat lebih berbahaya daripada membebaskannya.

Dengan demikian, gugurlah salah satu isi perjanjian yang mengatakan bahwa orang muslim yang melarikan diri dari Quraisy harus dikembalikan.

Kini setiap muslim Mekah bisa bergabung setiap saat dengan Rasulullah ï·º dan para sahabatnya di Madinah. Ini adalah salah satu tanda kemenangan kaum muslimin.

 

Istri-istri Rasulullah

 

Kedudukan yang telah Rasulullah ï·º berikan kepada para istrinya belum pernah didapati oleh wanita-wanita Arab sebelum mereka. Rasulullah ï·º sangat lembut, selalu tersenyum, dan penuh kasih sayang kepada para isterinya.

“Laki-laki terbaik di antara kamu adalah yang berlaku paling baik kepada isterinya,” demikian sabda beliau.

Maka wajar saja, isteri-isteri Rasulullah ï·º menjadi sedikit manja. Mereka begitu mencintai Rasulullah ï·º sehingga saling berebut perhatian beliau. Aisyah sangat cemburu jika Rasulullah ï·º sedang memberi perhatian kepada Hafshah, demikian pula sebaliknya. Bahkan Aisyah sampai cemburu kepada almarhumah Khadijah. Hal seperti itu tentu mengganggu ketentraman hati Rasulullah ï·º.

Tidak cukup sampai di situ, para ibu kaum muslimin itu pun mengeluh kepada Rasulullah ï·º tentang keserderhanaan hidup mereka.

Dengan mata berkaca-kaca, beberapa istri Rasulullah ï·º pernah memohon agar Rasulullah ï·º juga memperhatikan pakaian mereka yang sederhana.

Para ibu kaum Muslimin itu tahu bahwa Rasulullah ï·º adalah pemimpin negara yang cukup besar saat itu. Dengan mudah, Rasulullah ï·º akan dapat memberikan mereka pakaian dari sutra, kain katun mesir, dan baju halus dari Yaman. Bahkan, Rasulullah ï·º juga bisa saja memberikan setiap isterinya perhiasan dari emas. Jadi, mengapa mereka harus hidup sederhana.

Dengan cara halus, Rasululllah ï·º berusaha menyadarkan para isteri beliau. Sebagai isteri Rasulullah ï·º, mereka tidak sama dengan wanita-wanita lain. Mereka memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki wanita lain, yaitu bersuamikan Rasulullah ï·º.

Mereka harus menjadi wanita penyabar dan patuh kepada suami sehingga pantas diteladani oleh isteri-isteri sahabat. Namun, isteri-isteri beliau secara halus tetap menuntut agar Rasulullah ï·º memberi uang belanja yang lebih layak.

Karena sudah tidak ada jalan lain. Rasulullah ï·º pun memutuskan hidup terpisah dari isteri-isterinya. Masalah yang harus dihadapi masih segunung, termasuk ancaman Yahudi dari Khaibar. Para isteri yang harusnya menentramkan malah mengeruhkan batin Rasulullah ï·º.

Mengetahui hal tersebut, Abu Bakar datang dan memarahi Aisyah. Umar bin Khatab juga memarahi putrinya Hafshah.

Akhirnya para isteri Rasulullah ï·º itu menyadari kelalaian mereka. Sambil menangis, mereka memohon ampun pada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan mereka. Rasululllah ï·º memaafkan mereka dan kembali hidup tenteram seperti semula. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Serombongan Wanita Quraisy Melarikan Diri ke Madinah

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama