Ketika Teater Kampong Bulukumba Terbebas dari Tarungku Toae

“Tarungku ToaE” (penjara tua) yang terletak di jantung kota Bulukumba, pernah menjadi tempat berkesenian anggota Teater Kampong pimpinan Darsyaf Pabottingi. Kini pemerintah melarang menggunakan penjara tua tersebut untuk berkesenian.
 





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 05 Oktober 2022

 

Sebuah Monolog:

 

 

Ketika Teater Kampong Bulukumba Terbebas dari Tarungku Toae

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Seniman, Sastrawan, Kritikus Sastra)

 

“Tarungku ToaE” artinya penjara tua. Istilah artistik sebuah bangunan Belanda pada abad ke-19 di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Dari situlah para Pejuang Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR), sebuah organisasi perjuangan melawan penjajah yang dikomandoi H. Andi Sultan Daeng Radja, diantri satu-satu, kemudian digiring ke Lapangan Pemuda untuk dieksekusi oleh pasukan Baret Merah, Westerling di tahun 1947.

Terletak di jantung kota Bulukumba, situs sejarah tersebut tidak enak dipandang mata. Sebagian dindingnya sudah runtuh, berlumut dan bagian dalamnya terkesan angker.

Suatu malam, masih belum larut, saya lewat di depan “tarungku toaE”. Perasaan saya bergidik. Ada suara meraung, histeris, seakan teriakan orang-orang yang sedang disiksa. Pikir saya, mungkin ini yang sering ditakuti orang. Suara-suara gaib dari bangunan tua itu: jeritan pedih para tahanan (baca: penderita ) yang dieksekusi oleh penguasa yang tidak berkemanusiaan (baca: Penjajah).

Saya turun dari kendaraan, mencoba mengintip di sela-sela bilah bambu yang dipakai menutupi lubang tembok. Ternyata, di dalam suasana remang-remang, Darsyaf Pabottingi bersama teman-temannya sedang berlatih teater. Katanya, untuk persiapan di malam hiburan HUT Kemerdekaan RI.

Itu beberapa tahun yang lalu. Sekarang, Darsyaf tidak lagi menggunakan situs itu sebagai tempat berlatih atau mementaskan kesenian. Grup Teater Kampong yang dibinanya puluhan tahun itu harus “urut dada.”

Bangunan Belanda “Tarungku ToaE”, tempat seniman dengan riang mengabdikan diri kepada bangsa dan negara, sesuai keahliannya, tidak boleh lagi dipakai untuk berkesenian.

“Lembaga Pemerintah Pusat menguasai kembali bangunan itu. Teater Kampong menyerah, bahkan sampai kami harus berurusan dengan polisi, karena dilapor sebagai penyerobot aset milik Pemerintah,” cerita Cacca, panggilan akrab Darsyaf Pabottingi, beberapa bulan lalu kepada saya.

Mendengar kisah itu, saya ikut “urut dada”. Kepada batin, saya bermonolog: Ini keterlaluan. Jika situs itu memang milik Pemerintah Pusat, tolong dibenahi dan jangan biarkan terbengkalai, membuat kumuh Ibukota Kabupaten kami.”

Monolog ini tiba-tiba saja hadir setelah bertahun-tahun saya menyaksikan, bahwa gedung tua tersebut ternyata kelihatan cantik menghias ibukota Bulukumba. Itu terjadi ketika para seniman mengisinya dengan pentas teater atau diskusi budaya dan mendandaninya dengan aktivitas seni rupa kreatif. ***

 

Bulukumba, 30 September 2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama