Puisi “Pada Sebuah Reuni” Hadirkan Imaji Konkret, Indah dan Enak Dibaca

DISKUSI PUISI. Mahrus Andis tampil sebagai pembicara, dan Ram Prapanca moderator pada Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





------ 

PEDOMAN KARYA

Jumat, 21 Januari 2022

 

Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (4):

 

 

Puisi “Pada Sebuah Reuni” Hadirkan Imaji Konkret, Indah dan Enak Dibaca

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

 

Selama lebih dari 30 tahun Mahrus Andis tenggelam dalam dunia birokrasi di Lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba, tapi jiwa seninya, kemampuannya mengolah kata, kelihaiannya menulis puisi, dan ketajaman intuisinya dalam menelisik karya sastra ternyata justru makin terasah.

Pria bernama lengkap Drs H Andi Mahrus Syarief MSi, memang sudah memiliki jiwa dan bakat seni, khususnya dalam dunia sastra, sejak duduk di bangku kuliah, tepatnya sejak kuliah pada Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada akhir tahun 70-an hingga tahun 1984.

Mahrus yang kelahiran Bulukumba, 20 September 1958, tak pernah berhenti berkarya sejak kuliah, selama tenggelam dalam dunia birokrasi, sampai memasuki masa pensiun.

Karya-karyanya bahkan sudah banyak yang dibukukan dan buku terbarunya yang terbit tahun 2021, ia beri judul “Kunang-kunang di Ruang Hening.”

Ketajaman intuisinya dalam menelisik karya sastra kembali terlihat saat tampil sebagai pembicara pada Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.

Dalam membahas puisi “Pada Sebuah Reuni”, Mahrus tidak hanya bicara lepas tanpa teks, tapi menulis secara apik dengan judul: “Pada Sebuah Reuni”, Puisi Aslan Abidin: Siapa dan Bagaimana “Aku Lirik”?

Tulisannya yang begitu rapi dan ilmiah, serta ulasannya yang sangat tajam dan terasa sangat berbeda dengan ulasan biasa, membuat beberapa peserta diskusi menyayangkan Mahrus Andis terjun ke dunia birokrasi.

“Seharusnya Bung Mahrus Andis berkiprah di dunia akademisi,” kata salah seorang peserta diskusi.

“Seandainya Bung Mahrus jadi dosen, pasti sekarang sudah jadi professor,” timpal peserta diskusi lainnya.

Mereka yang hadir dalam diskusi puisi tersebut antara lain Dr Aslan Abidin (penyair yang puisinya didiskusikan), Dr Asia Ramli Prapanca (penyair, pemain drama, sutradara), Badaruddin Amir (penyair, cerpenis), Yudhistira Sukatanya (penyair, pemain drama, cerpenis), Dr Suradi Yasil (penulis, penyair), Tri Astoto Kodarie (penulis, penyair), Bahar Merdu (penyair, penulis naskah drama, sutradara).

Penyair, cerpenis, dan penulis lain yang hadir, antara lain Anwar Nasyaruddin, Ishakim, Muhammad Amir Jaya, Andi Wanua Tangke, Andi Ruhban, Idwar Anwar, Rusdin Tompo, Syahril Daeng Nassa, Rahman Rumadai, Fadli Andi Natsif, Agus K Saputra, serta beberapa mahasiswa dan peminat sastra.

Mendapat sanjungan dari koleganya sesama penyair, sastrawan, dramawan, dan budayawan, Mahrus bukannya tersenyum gembira, melainkan malah membenarkan pilihannya terjun ke dunia birokrasi.

“Justru dengan terjun ke dunia birokrasi, saya bisa membuktikan bahwa seniman dan sastrawan juga bisa menjadi birokrat, bahkan menjadi pejabat yang memberi warna tersendiri dalam dunia birokrasi,” kata Mahrus.

 

Tiga Dimensi

Ketajaman intuisinya dalam menelisik karya sastra, dalam hal ini puisi “Pada Sebuah Reuni” karya Aslan Abidin, terlihat saat ia mengutip teori yang dikembangkan Narudin dengan nama “Trikotomi Analisis Semiotika.”

Teori “Trikotomi Analisis Semiotika”, kata Mahrus, mencoba melihat karya sastra, khususnya puisi, dari tiga dimensi, yaitu Dimensi Sintaksis (Tata Kata), Dimensi Semantik (Tata Makna), dan Dimensi Pragmatik (Tata komunikasi, yang juga berkaitan dengan konteksasi makna semiotik dengan aspek personal, sosio-kultural, historikal dan  referensial di balik suatu karya).

 

Dimensi Sintaksis

 

Mahrus Andis mengatakan, puisi berjudul “Pada Sebuah Reuni” dibangun dengan unsur-unsur puitika yang utuh. Unsur fisik yang terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas (figurative language), rima dan tipografi (tata wajah) cukup kompak membangun struktur kalimat dan bait-bait yang rapi dengan bahasa yang indah.

“Power estetika sangat terasa pada larik-larik puisi yang terdiri atas 10 bait itu,” kata Mahrus.

Dari dimensi Sintaksis, katanya, dapat dikatakan bahwa puisi ini berhasil hadir secara sempurna, khususnya pada segi fisik untuk mengusung persepsi penyair tentang suasana sebuah reuni.

Getah estetika yang paling menonjol dalam struktur puisi tersebut dapat dirasakan pada kutipan bait pertama:

 

“reuni, bagai mesin waktu. –serupa

                upaya sia-sia kembali lagi ke masa

                silam. semata tunjukkan kalau kita

tidaklah punya kesempatan kedua.

 

setidaknya, mementalkan kita dari

               masa lalu serta berhadapan kembali,

               berdiri kikuk –sejauh sepuluh tahun

silam dari lambaian lesu perpisahan.

...”

“Keindahan larik puisi di atas dapat dirasakan melalui permainan bunyi, rima atau irama diksional yang harmonis,” kata Mahrus.

 

Dimensi Semantik

 

Analisis semantik atas puisi “Pada Sebuah Reuni”, lanjut Mahrus, memberikan pemahaman yang cukup jelas bahwa diksi-diksi yang digunakan dalam puisi tersebut benar-benar merupakan hasil pilihan kata yang cermat (Bedakan antara “pilihan kata” dengan “kata pilihan”).

“Diksi tersebut lahir dari proses pertimbangan yang matang, baik makna, struktur bunyi, maupun hubungannya yang harmonis dengan setiap larik dan bait,” ujar Mahrus.

Kepaduan makna dengan unsur pengimajian dan bahasa figuratif pada puisi ini, katanya, dapat dibaca pada petikan bait berikut:

 

“ ...

kita bersalaman. –berpencaran pula

               kenangan dari ingatan. penuh tanya:

              bersama siapa gerangan kini?— apa

sudah nikah atau masih sendiri juga?

 

dulu kau gadis belia penuh tawaran

             cinta di kerlingan matamu. —namun

              aku, lelaki muda yang semata hanya

gemetar bisu ditimpa cinta pertama.

... “

 

Unsur pengimajian adalah struktur diksi-diksi yang dimanfaatkan penyair untuk membangkitkan sukma khayalan atau imajinasi pembaca. Dengan frasa seperti:

   

“–berpencaran pula

               kenangan dari ingatan.”

Atau,

“penuh tanya:

              bersama siapa gerangan kini?—“

 

“Maka pembaca seolah-olah merasa, mendengar dan melihat sesuatu yang diungkapkan penyair. Penggunaan bahasa figuratif (majas) oleh penyair menjadikan puisinya indah, menghadirkan imaji konkret dan enak dicerna. Mari kita baca larik puisi yang, menurut saya, paling indah menyentuh rasa estetika dan ada penemuan ‘diksi baru’ di dalamnya,” kata Mahrus.

 

“...

dulu kau gadis belia penuh tawaran

             cinta di kerlingan matamu. —namun

              aku, lelaki muda yang semata hanya

gemetar bisu ditimpa cinta pertama

...”

 

Kekaguman terhadap seorang gadis yang penuh daya tarik, oleh penyair, tidak diungkapkan dengan kalimat “engkau cantik” atau “wajahmu manis”, tetapi dengan diksi “penuh tawaran cinta di kerlingan matamu.”

Demikian pula karakter seorang lelaki muda yang “takut berterus-terang menyatakan cintanya”, oleh penyair digambarkan dengan kalimat:

 

“...

hanya

gemetar bisu ditimpa cinta pertama

...”

 

“Contoh ungkapan yang bernilai baru seperti itu merupakan bentuk dinamisasi semiotik dari dimensi semantik perpuisian modern. Sebagai catatan, salah satu amanah yang disandang penyair modern ialah menggali dan menemukan diksi-diksi baru di dalam puisinya,” papar Mahrus.

Penemuan diksi-diksi baru dimaksud, dapat ditemukan pada beberapa ungkapan bahasa seperti:

 

“ada ruang sepi dalam rongga diriku.

               tempat aku menantimu penuh rindu, ...” (Bait ke-5).

 

Diksi “rongga diriku” memiliki makna yang lebih luas, mencakup segenap kesadaran imanensi dan transendensi nilai kekosongan batin (kesunyian) penyair dibandingkan dengan klausa “rongga dadaku.”

Judul puisi “Pada Sebuah Reuni” pun, kata Mahrus, mengandung makna khusus yang sangat kuat.

Pemilihan preposisi (kata depan) “pada” dalam kalimat judul “Pada Sebuah Reuni”, lanjutnya, sengaja digunakan penyair untuk membedakan nilai intensitas maknanya secara konkret dengan preposisi “di” dalam kalimat “Di Sebuah Reuni.”

Menurut Mahrus, preposisi “pada”, dengan kalimat “Pada Sebuah Reuni” tidak sekadar berfungsi menunjukkan objek sebuah reuni sebagai keterangan tempat berlangsungnya peristiwa. Akan tetapi, preposisi “pada”, lebih mengarah kepada makna khusus yang ingin menjelaskan tentang berpencarnya kembali “kenangan dari ingatan” (Bait ke-3) yang membuat terciptanya “ruang sepi dalam rongga diriku.” (Bait ke-5).

“Tentu saja banyak hal yang menarik dari puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ ini, terutama apabila kita gali dari dimensi semantiknya,” kata Mahrus.

 

Dimensi Pragmatik

 

Salah satu dimensi Trikotomi Analisis Semiotika ialah Dimensi Pragmatik. Dalam kajian semiotika, pragmatik cenderung melihat sisi penggunaan kata, frasa atau pun kalimat   yang kontekstual dengan kondisi di balik sebuah puisi.

“Pada dimensi pragmatik, dapat pula dilakukan tinjauan kultural-filosofis, historikal dan referensial atas makna kata yang luput dari tangkapan pembaca,” kata Mahrus.

Oleh para ahli semiotika, katanya, teori ini disebut Semiotika Tahap Ketiga (Third Order Semiotics) yang juga diistilahkan sebagai “Eklektik Metasemantik” atau proses menggali makna yang luput (The Overlooked).

“Pada Sebuah Reuni”, penyair pun menuntut pembaca untuk memahami makna semiotik puisinya melalui dimensi pragmatik. Beberapa contoh tentang hal itu dapat kita baca pada larik-larik berikut:

Kata ganti persona “aku-lirik” dan “kau-lirik” atau “kita” pada beberapa mikroteks puisi tersebut, memiliki makna yang “luput” dari apresiasi pembaca. Demikian pula kalimat “sekolah menengah atas” dan “tanda yang aku beri dulu.”

“Untuk memahami siapakah itu “kita” (aku dan kau), sekolah menengah atas yang mana, atau tanda yang aku beri dulu, maka pembaca harus menggeledah latar sejarah, sosiokultur dan referensi pribadi penyair. Di tataran inilah dimensi pragmatik atau Semiotika Tahap Ketiga dibutuhkan,” urai Mahrus.

Pada puisi ini, hal-hal yang sifatnya referensi pribadi penyair tidak bisa ditemukan tanpa melakukan penelitian khusus terhadap “siapa” dan “bagaimana” penyair Aslan Abidin itu.

Maka serentetan pertanyaan pun akan segera hadir. Benarkah “aku-lirik” itu adalah penyair dan “kau-lirik” adalah gadis yang dijatuhcintainya secara diam-diam ketika masih sekolah di SMA?

“Jika ‘ya’, maka saya dapat berkesimpulan bahwa puisi yang berjudul ‘Pada Sebuah Reuni’ karya Aslan Abidin, cukup berhasil dari penggarapan struktur fisik, namun terlalu dangkal unsur batinnya atau kandungan moralnya,” kata Mahrus.

Dari analisis Trikotomi Semiotika, lanjutnya, pilihan kata (diksi), pengimajian, bahasa figuratif, rima, dan tata wajah (tipografi) puisi "”Pada Sebuah Reuni”, dapat dikatakan berkualitas sastrawi karena digarap secara imajinatif disertai perenungan batin yang intens.

“Meskipun di sudut lain, puisi ini terjerembab ke dalam puisi ‘cengeng’ karena unsur batinnya sekadar berisi keluhan masa silam tentang ‘luka cinta platonis’ seorang remaja,” ujar Mahrus.

Kesimpulan di akhir narasinya tersebut, kata Mahrus, tentu bersifat khusus. Artinya, sebuah konklusi impresif yang hanya berlaku bagi puisi Aslan Abidin, yakni “Pada Sebuah Reuni” yang dia tulis di tahun 2018.

“Dan kesimpulan itu pun masih sangat mungkin berubah, yaitu ketika pertanyaan ‘siapa’ dan ‘bagaimana’ di atas terjawab dengan kata ‘bukan’,” tutup Mahrus. (bersambung)


------

Artikel sebelumnya:

Terselip di Antara Para Pendekar Sastra, Penyair, dan Cerpenis

Mendiskusikan Puisi “Pada Sebuah Reuni” Karya Aslan Abidin

Mahrus Andis: Puisi “Pada Sebuah Reuni” Perlu Ditarik ke Ranah Inklusif

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama