In Memoriam Aminuddin Gudang: Jadi Guru SD Selama 41 Tahun

Namanya tidak dikenal. Ia juga tidak mendapatkan penghargaan dari pemerintah, tetapi pengabdiannya sebagai guru SD (Sekolah Dasar) selama 41 tahun membuatnya pantas mendapatkan gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.”

Ya, Haji Aminuddin Gudang Daeng Taba, menjadi guru Sekolah Dasar (dulu Sekolah Rakyat) sejak tahun 1957, dan pensiun pada tahun 1998. Total lama pengabdiannya mencapai 41 tahun.






------

PEDOMAN KARYA

Jumat, 11 Maret 2022

 

 

In Memoriam Aminuddin Gudang:

 

Jadi Guru SD Selama 41 Tahun

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)



Namanya tidak dikenal. Ia juga tidak mendapatkan penghargaan dari pemerintah, tetapi pengabdiannya sebagai guru SD (Sekolah Dasar) selama 41 tahun membuatnya pantas mendapatkan gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.”

Ya, Haji Aminuddin Gudang Daeng Taba, menjadi guru Sekolah Dasar (dulu Sekolah Rakyat) sejak tahun 1957, dan pensiun pada tahun 1998. Total lama pengabdiannya mencapai 41 tahun.

Rasa-rasanya tidak banyak orang yang mengabdi sebagai guru ASN (aparatur sipil negara) selama kurang lebih 41 tahun.

Tulisan ini kami buat untuk mengenang Aminuddin Gudang, sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, yang meninggal dunia di Kabupaten Bulukumba, pada Jumat malam, 11 Maret 2022, dalam usia 84 tahun.

Tanggal 1 Agustus 1957 merupakan hari bersejarah dalam hidup Aminuddin Gudang, karena pada hari itu, ia resmi terangkat menjadi guru Pegawai Negeri Sipil. Ia ditempatkan sebagai guru sekolah dasar di Sekolah Rakyat (SR) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

“Sebenarnya saya merasa masih terlalu muda untuk menjadi guru ketika itu, karena usia saya baru 19 tahun (berdasarkan ijazah, Aminuddin lahir pada 1 Juli 1938),” kenangnya saat menceritakan peristiwa bersejarah dalam hidupnya kepada penulis.

Tetapi karena memang sudah panggilan jiwa, maka ia pun berangkat dari ibukota Kabupaten Bulukumba ke Kassi Buta di Kecamatan Kajang yang jaraknya kurang lebih 40 kilometer.

Di balik kegembiraan menerima SK pengangkatan sebagai guru, juga terselip rasa enggan dan rasa takut. Enggan karena ia sudah merasa sudah senang menjalani hidupnya sebagai pemuda dari keluarga yang cukup “'berada.”

Ayahnya, Gudang Daeng Bone, bekerja sebagai tukang jahit yang tergolong cukup “berada” ketika itu. Udding-panggilan akrab Aminuddin-ketika itu memiliki motor besar dan bisa dihitung jari jumlah pemuda yang memiliki sepeda motor saat itu.

Udding juga merasa takut karena Kecamatan Kajang ketika itu identik dengan “daerah berselimut magis.”

Sejak ratusan tahun silam sampai sekarang di Kecamatan Kajang, terdapat sebuah wilayah atau kawasan cukup luas yang dihuni dan “dikuasai” oleh Suku Adat Ammatoa.

Suku dengan ciri khas pakaian serba hitam dan dipimpin seorang ketua adat yang disebut Ammatoa. Ketua adat bergelar Ammatoa dan para lelaki dewasa di kawasan adat Ammatoa ketika itu, konon rata-rata memiliki ilmu kanuragan dan kekuatan magis.

“Tetapi setelah diberi keyakinan oleh orangtua, keluarga, dan teman-teman, saya dengan senang hati akhirnya berangkat ke Kajang melaksanakan tugas sebagai guru,” kata Udding.

Sambil mengajar, ia juga bekerja sambilan sebagai tukang jahit. Bakat tukang jahit menurun dari sang ayah, Gudang Daeng Bone, yang memang cukup dikenal di ibukota Kabupaten Bulukumba pada tahun 50-an hingga akhir tahun 60-an.

“Waktu itu, gaji pertama saya Rp375 (tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) per bulan. Kalau tidak salah, harga beras waktu itu Rp1 (satu rupiah) per liter,”' ujarnya.

Saat bertugas di Kajang, ia pernah dihardik oleh seorang tentara, karena dikira hanya seorang remaja (19 tahun), tetapi setelah beberapa orang menjelaskan bahwa dirinya seorang guru, sang tentara langsung meminta maaf.

“Mungkin karena ia melihat badan saya kecil dan wajah saya masih sangat muda, tetapi setelah ada yang memberitahu, ia datang minta maaf,” kata Udding.

 

Menikah

 

Aminuddin bertugas selama kurang lebih tiga tahun sebagai guru di SR (Sekolah Rakyat) Kassi Buta, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Setelah itu, ia dipindahkan dan tercatat sebagai guru di SR 12 Kalumeme (sekarang SD Negeri 10 Ela-ela), Kecamatan Ujungbulu, Kabupaten Bulukumba, sejak 1 Januari 1960.

Ketika masih mengajar di Kassi Buta, beberapa teman mengajarnya sempat memintanya menikah dengan wanita setempat dan kebetulan ada seorang tokoh masyarakat di desa itu yang menginginkan Aminuddin menjadi menantunya, tetapi ia menolak secara halus karena merasa masih terlalu muda untuk menikah.

Tanpa ia tahu, secara diam-diam rupanya sang ibu, Dekkalala Daeng Pute (almarhumah) telah mencarikan jodoh buat dirinya. Sang ibu rupanya tertarik melihat kepribadian seorang gadis bernama Sitti Hasnah yang bersahabat dengan adik kandung Aminuddin yang bernama Besse Daeng Jintu.

“Saya juga biasa lihat dia jalan dengan adik saya, tetapi hanya sebatas itu. Saya tidak tahu kalau ibu saya ternyata tertarik dengan gadis itu dan kemudian melamarnya untuk jadi isteri saya,” kenang Aminuddin yang oleh orangtuanya dipanggil Udding.

Mereka dinikahkan dan melangsungkan pesta perkawinan di Bulukumba pada 14 Desember 1958. Setelah menikah, sang isteri tetap tinggal di Bulukumba (sebutan untuk ibukota Kabupaten Bulukumba) dan hanya sesekali datang ke Kassi Buta. Hidup “terpisah” dengan isteri dijalani selama kurang 13 bulan. (bersambung)


------

Artikel Bagian 2: Gedung Sekolah Roboh, Murid-murid Belajar di Kolong Rumah Penduduk

Artikel Bagian 3: Mendatangi Tokoh Masyarakat Setelah Terangkat Jadi Kepala Sekolah 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama