Perebutan Kekuasaan Tidak Selalu Lewat Kekerasan

PEREBUTAN KEKUASAAN tidak selalu lewat kekerasan, tapi juga melalui pengendalian informasi, ideologi, dan pengetahuan. Kekuasaan ada dimana-mana. Kekuasaan tidak hanya ada di seputaran Presiden, Gubernur dan Bupati atau Partai Politik, akan tetapi di zaman modern kekuasaan juga ada dalam televisi, pada bangunan tempat kita tinggal, pada mobil mewah yang kita gunakan, pada pertunjukan music rock atau di café. (Foto: setneg.go.id)

 

------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 10 Mei 2025

 

Sejarah Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan (3-habis):

 

Perebutan Kekuasaan Tidak Selalu Lewat Kekerasan

 

Oleh: Hardianto Haris

(Dosen Universitas Pancasakti Makasasr)

 

Pasca-keruntuhan Soeharto maka mulailah berlaku “Demokrasi Elektoral”. Era ini ditandai dengan politik transaksional, koalisi rapuh, dan perebutan kekuasaan melalui mekanisme pemilihan presiden (Pilpres), Pemilu dan Pilkada, yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Skandal politik, money politik, dan manuver elite partai menjadi cara baru dalam perebutan kekuasaan.

Meskipun pada zaman sekarang ini perebutan kekuasaan tak lagi banyak diwarnai dengan kekerasan fisik dan pembunuhan, akan tetapi perebutan kekuasaan dengan cara curang, intrik, manipulasi masih terjadi.

Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Italia, memandang kekuasaan dapat dipertahankan dan direbut lewat satu prinsip yang disebutnya prinsip hegemoni. Prinsip hegemoni ini ditawarkan oleh Gramsci di dalam bukunya “Selection From Prison Notebooks.”

Sementara menurut Michael Foucault dalam bukunya History Of Sexuality, perebutan kekuasaan tidak selalu lewat kekerasan, tapi juga melalui pengendalian informasi, ideologi, dan pengetahuan.

Kekuasaan ada dimana-mana. Kekuasaan tidak hanya ada di seputaran Presiden, Gubernur dan Bupati atau Partai Politik, akan tetapi di zaman modern kekuasaan juga ada dalam televisi, pada bangunan tempat kita tinggal, pada mobil mewah yang kita gunakan, pada pertunjukan music rock atau di café.

Dalam pengertian ini kekuasaan adalah relasi sosial yang dibentuk dan disebarluaskan melalui beraneka-ragam saluran (yang plural) melalui cara-cara yang terkadang kontradiktif. Kekuasaan menurut Foucault tidaklah semata-mata dilakukan oleh aparat negara, akan tetapi lewat tawaran-tawarannya akan berbagai bentuk pengetahuan dan kesenangan.

Kekuasaan dengan kekerasan dan kecurangan salah satu fenomena yang menarik pada dekade-dekade terakhir, khususnya terjadi di Indonesia, semakin kompleksnya pertautan antara kekuasaan dengan kekerasan dan kecurangan, kini dilengkapi dengan teknologi tinggi, manajemen tinggi dan politik tinggi.

Artinya begitu canggihnya cara, trik, taktik dan strategi yang digunakan sehingga kekerasan yang sebenarnya merupakan bagian yang menyatu dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan, diciptakan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah kekerasan dan kecurangan dalam perebutan kekuasaan tidak pernah ada.

Kekerasan dan kecurangan ditutup dengan berbagai topeng dan tirai-tirai seolah-olah kekerasan dan kecurangan itu dilakukan oleh kelompok tertentu yang anti-pemerintah (makar subversi), seolah-olah kekerasan itu murni terjadi antarkelompok-kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan, padahal di balik kekerasan tersebut ada skenario-skenario dan grand desain yang diciptakan, yang pada akhirnya bermuara pada upaya perebutan kekuasaan dan pelenggangan perebutan kekuasaan.

Dalam teori konflik Karl Marx, perebutan kekuasaan akan menciptakan konflik karena distribusi kekuasaan dan sumber daya yang tidak merata.

Sementara jika kita menelisik dalam sejarah Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada catatan tentang kecurangan dalam perebutan kekuasaan. Nabi Muhammad SAW bukan seorang raja atau pemimpin politik dalam arti tradisional, tetapi seorang utusan Allah yang diutus untuk menyampaikan ajaran Islam. Kepemimpinannya di Madinah didasarkan pada wahyu dan perjanjian dengan berbagai kelompok masyarakat.

Hanya dalam sejarah dan kisah kekuasaan Nabi Muhammad SAW tidak ditemukan catatan praktik kecurangan. Hal ini karena didasari dengan prinsip kenabian yang berlandaskan wahyu, kejujuran (sidq), dan amanah.

Nabi Muhammad SAW tidak merebut kekuasaan dengan tipu daya, melainkan melalui proses dakwah yang konsisten, keteladanan moral, dan pembinaan komunitas yang kokoh secara spiritual dan sosial.

Keberhasilan beliau dalam memimpin bukan karena strategi politik yang licik, tetapi karena integritas pribadi yang tinggi dan kepercayaan yang dibangun dari umatnya. Dalam sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi), tidak ditemukan tindakan manipulatif atau korupsi kekuasaan. Beliau sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam segala hal, termasuk dalam pembagian harta, pelaksanaan hukum, dan diplomasi.

“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3–4)

.....

Artikel sebelumnya:

Kecurangan dalam Perebutan Kekuasaan Kerajaan-kerajaan di Indonesia 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama