-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 15 Juni 2025
Kisah Nabi Muhammad SAW (15):
Kakeknya Wafat,
Muhammad Diasuh Abu Thalib
Penulis: Abu Hasan Ali An-Nadwi
Muhammad dibawa pulang oleh Ummu Aiman. Ia
pulang sambil menangis hatinya pilu karena kini sebatang kara. Muhammad makin
merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang anak yatim-piatu. Terasa
olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.
Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar
dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan ayahandanya semasa ia dalam
kandungan.
Kini, ia melihat sendiri di hadapannya,
ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu. Muhammad yang
masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai seorang
yatim-piatu.
Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib
menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam. Kecintaan Abdul
Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad.
Rasa duka Muhammad mungkin agak ringan
apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup lebih lama lagi. Namun, Allah
sudah menentukan lain.
Pada usia 80 tahun, sang kakek pun
meninggal dunia. Saat itu, Muhammad berusia delapan tahun. Ia mengiringi
jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinang air mata.
Kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu
membekas begitu dalam pada diri Rasulullah, sehingga di dalam Al-Qur’an pun
disebutkan ketika Allah mengingatkan Rasulullah ï·º akan nikmat yang
dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang
yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung,
lalu Dia memberikan petunjuk.” (Surah ke-93, Ad-Duha, ayat 6-7)
Keluarga Umayyah
Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan
yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak-anak Abdul Muthalib yang
memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat, dan
berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya.
Kemudian keluarga Umayyah tampil ke depan
mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu mereka idam-idamkan, tanpa
menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.
Diasuh Abu Thalib
Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk
salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad. Ia tidak menunjuk Abbas yang
kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya yang tertua
karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk
mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki perasaan yang
halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.
Abu Thalib juga amat menyayangi
kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan
baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan
kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Begitu pun sebaliknya, Muhammad amat
mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam
kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berhutang kepada orang lain.
Abu Thalib lebih suka bekerja keras
memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu,
Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu
pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan domba dan mencari rumput.
Abu Thalib merasa bahwa Muhammad kelak
akan menjadi orang yang bersih hatinya dan dijauhkan dari dosa. Ia yakin, jika
mengajak Muhammad berdoa, Tuhan akan mengabulkan permohonannya. Seperti yang
dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru, “Wahai Abu Thalib, lembah
sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan.”
Maka, Abu Thalib keluar bersama Muhammad. Ia menempelkan punggung Muhammad ke dinding Ka’bah dan berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan di ladang menjadi gembur. (bersambung)
Kisah sebelumnya:
