Redeskripsi Bahasa Lebih Mungkin “Dipuitisasi” Ketimbang “Dirasionalisasi”

Mardi Adi Armin (paling kanan) tampil sebagai pembicara pada diskusi "Buku Mengejar Tapak Allah" karya Syahriar Tato, Kamis (9/1/2025) di Warkop Memory RR, Lt.3 Jl.Wijayakusuma No.2 Banta-Bantaeng, Makassar. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 

-----

PEDOMAN KARYA


Selasa, 24 Juni 2025

 

Keserbamungkinan Bahasa Menuju Dialog Intersubjektif Sains dan Budaya (2-habis):

 

Redeskripsi Bahasa Lebih Mungkin “Dipuitisasi” Ketimbang “Dirasionalisasi”

 

Oleh: Mardi Adi Armin

(Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin)

 

Setelah revolusi industri abad ke-18, para pemikir dan filsuf meyakini bahwa kebenaran sesungguhnya “dibuat” (made) ketimbang “ditemukan” (found), (Rorty 1990). 

Menyusul keyakinan tersebut, pemikir memandang, terdapat dua macam kecenderungan dalam menganalisis hegemoni kebudayaan dan peradaban industrial.

Pertama, kelompok yang menjadi pengikut setia domaine pencerahan (aufklärung), yang masih mengidentifikasi sains dengan cara-cara yang ketat. Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa sains dengan kriteria dan metode sangat ketat, tidak dapat diharapkan lagi untuk memberi pelajaran moral kepada manusia, termasuk kepuasan spiritual.

Kelompok kedua ini menyatakan diri dekat dengan para seniman dan sastrawan inovatif. Secara radikal, kelompok pertama menganut prinsip bahwa sains alam (naturwissenschaft) tidak berhubungan dengan filsafat, sebagaimana mereka menganggap bahwa sains terpisah dari teologi dan seni.

Jika kelompok pertama mempertentangkan fakta sains yang ketat dengan subjektivitas dan metafora, kelompok kedua cenderung menilai sains sebagai aktivitas yang lebih fleksibel, memungkinkan pemikir dan ilmuwan menghadapi realitas dengan lebih luwes.

Dalam pandangan ini, tidak ada kekakuan metode, sehingga ilmuwan dapat menemukan gambaran realitas yang berguna untuk membuat prediksi dan mengawasi apa yang mungkin terjadi. Kebenaran tidak  independen terhadap manusia. Dunia ada di luar  sana, tetapi penggambaran  tentang dunia tentu saja tidak, demikian pula mengenai keserbamungkinan pernyataan-pernyataan bahasa manusia.

Keputusan tentang pihak-pihak yang bermain dalam pernyataan-pernyataan bahasa adalah lebih pada kesepakatan ketimbang penentuan kriteria. Kriteria bukan lagi persoalan pada pergeseran satu permainan bahasa pada permainan bahasa lainnya, karena adanya faktor-faktor keserbamungkinan.

Lagi pula upaya untuk menemukan kriteria merupakan tradisi lama, padahal yang kita upayakan adalah usaha untuk merumuskan kembali tata bahasa agar dapat menentukan masa depan yang lebih membahagiakan bagi manusia (summum bonum).

Penggambaran kembali bahasa lama yang telah membentuk wacana dasar pada masa pencerahan hanya dapat dilakukan dengan tetap memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kemerdekaan yang bertanggungjawab sebagai pengenalan terhadap sifat keserbamungkinan masyarakat secara umum tanpa kecuali.

Istilah-istilah logis, objektif dan metodis tidak lagi penting dan menarik bagi area kebudayaan dan peradaban model ini, karena hanya menghasilkan realitas ketat dan terisolasi. Redeskripsi bahasa, diri, pikiran dan masyarakat sebagai harapan bagi kelonggaran kebudayaan dan peradaban manusia lebih mungkin “dipuitisasi” ketimbang “dirasionalisasi.”

Dalam kaitan dengan ini, istilah rasional dibedakan atas dua macam. Pertama, rasional yang berarti metodis yaitu penentuan kriteria-kriteria atau strandardisasi yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya, di mana susunan bangunan  epistemologinya harus disesuaikan dengan tipe pembenaran ilmiah.

Sedangkan arti kedua, rasional adalah kehalusan dan kesucian, kebaikan moral, kebersamaan, respek dan toleran terhadap pendapat dan pandangan yang ada, kemampuan mendengarkan dan kepercayaan pada persuasi ketimbang pada kekuatan.

Tawaran yang hendak ditampilkan adalah solidaritas, empati berdasarkan semangat dialog dan saling pengertian, memberi makna dan tempat pada keserbamungkinan bahasa bagi pembangunan masyarakat. Arti kata rasional pada pandangan yang terakhir ini adalah berbudaya.       

Makna rasional yang kedua tersebut lebih menyetujui kata objektivitas diganti menjadi  kesepakatan. Kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa ada yang disebut status atau karakter sains dan bahwa kebenarannya dapat saja bersifat tunggal (univok).

Namun, istilah “setuju tanpa konflik” dalam masing-masing cabang sains tersebut adalah satu-satunya garis kebenaran objektif yang kita inginkan bersama, yaitu persetujuan intersubjektif. Tidak ada tempat lagi bagi ketidakterbandingan (incommersurabilty)  paradigma dalam sains.***


......

Artikel Bagian 1:

Keserbamungkinan Bahasa Menuju Dialog Intersubjektif Sains dan Budaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama