-----
PEDOMAN KARYA
Ahad, 22 Juni 2025
Urgensi
Kemandirian Pemimpin dalam Menjawab Tantangan Bangsa
Semalam suntuk kami berdiskusi dengan
pengurus Forum Komunikasi Jama’ah Masjid di Pondok Pesantren Ukhuwah Muslimin.
Diskusi ini agak hangat karena menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara, yakni keprihatinan terhadap kepemimpinan nasional.
Tema kepemimpinan yang memantik diskusi
ini adalah tema kemandirian kepemimpinan bangsa. Dalam benak saya, ketika tema
semacam ini menjadi perbincangan di kalangan aktivis masjid, sejatinya direspons
dengan penuh kesungguhan.
Betapa tidak, tema semacam ini menjadi
asing atau hampa diperbincangkan di kalangan aktivis masjid. Mungkin berangkat
dari larangan membincang masalah-masalah politik di tempat-tempat ibadah, padahal
tempat ibadah adalah tempat paling tepat untuk menumbuhsuburkan etika / moral.
Baik etika kepemimpinan bangsa, maupun etika dalam hubungan antar manusia di
tengah masyarakat yang plural.
Diskusi inilah yang mendorong saya subuh
ini menulis tentang urgensi kemandirian pemimpin dalam menjawab tantangan
bangsa.
Rujukan utamanya adalah Nabi Muhammad SAW,
sebagai pemimpin yang dinobatkan oleh Mechael H. Hart dalam bukunya “The 100: A
Ranking of the Most Influential Persons in History”, sebagai pemimpin yang
paling berpengaruh dalam bentangan sejarah kepemimpinan dunia.
Meskipun Mechael H. Hart tidak menyebutkan
langsung kriteria kemandirian kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam
kepemimpinannya, namun dapat dilihat dan dipahami, bahwa Rasulullah Muhammad
SAW membangun kepemimpinannya mulai dari nol.
Beliau tidak mewarisi kepemimpinannya dari
struktur kekuasaan yang ada pada saat itu, meskipun beliau cucu langsung dari
Abdul Muthalib sebagai tokoh sentral ketika itu.
Beliau terbukti menjalankan
kepemimpinannya tanpa intervensi dari pihak manapun. Beliau pernah ditawari
oleh pemimpin kafir Quraisy untuk menjadi pemimpin tertinggi, ditawari wanita
cantik, harta dan kekuasaan, agar tidak meneruskan misi kenabiannya (baca: visi
misinya).
Namun, beliau menolak dengan ungkapan yang
sangat populer: “Andai pun matahari diletakkan di tangan kanan saya, dan bulan
di tangan kiri, saya tidak akan pernah menghentikan misi nubuat ini”. Inilah
prinsip kemandirian yang terpatri dalam diri Nabiullah Muhammad SAW.
Dalam setiap babak sejarah, pemimpin
selalu menjadi sosok sentral yang menentukan arah dan nasib bangsanya. Namun,
tidak semua pemimpin mampu menjawab tantangan zaman dengan keberanian dan
keteguhan hati.
Salah satu syarat utama dari kepemimpinan
yang kuat dan bermartabat adalah kemandirian. Sayangnya, di tengah kompleksitas
politik, tekanan oligarki, dan kepungan kekuatan ekonomi global, kemandirian
pemimpin justru menjadi barang langka.
Banyak yang tampil sebagai pemimpin secara
formal, tetapi secara substansial mereka hanyalah pelaksana kepentingan
tertentu. Inilah yang menjadi persoalan mendasar dalam krisis kepemimpinan di
berbagai negara, termasuk Indonesia.
Seorang pemimpin sejati bukanlah operator
kekuasaan atau manajer politik, tetapi pengarah dan pelindung kepentingan
rakyat. Kemandirian menjadi penting karena hanya pemimpin yang independen yang
mampu berdiri tegak di atas semua tekanan—baik tekanan dari dalam maupun luar
negeri.
Pemimpin yang tidak mandiri akan mudah
didikte oleh para pemodal, elite partai, atau bahkan kekuatan asing.
Keputusan-keputusan strategis negara—dari kebijakan energi, dan mineral,
pangan, hingga pertahanan,—dapat terseret pada kompromi yang mengabaikan
kepentingan nasional jangka panjang.
Indonesia saat ini sedang berada di
persimpangan sejarah. Di satu sisi, kita memiliki peluang demografis, kemajuan
teknologi, dan posisi geopolitik yang strategis. Namun di sisi lain, kita
menghadapi tantangan serius: ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan,
ketergantungan pada komoditas mentah, dan intervensi politik uang dalam
demokrasi.
Menghadapi semua tantangan itu, dibutuhkan
pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer namun strategis.
Pemimpin yang tidak sekadar sibuk membangun pencitraan, tetapi benar-benar
hadir sebagai pengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat banyak. Dan semua
itu hanya bisa lahir dari sosok yang mandiri secara intelektual, emosional, dan
moral.
Kemandirian seorang pemimpin bisa dikenali dari beberapa hal. Pertama, berani menolak tekanan dari kelompok kepentingan jika itu bertentangan dengan nilai keadilan dan kepentingan rakyat.
Kedua, mampu menyusun agenda nasional
tanpa dikendalikan oleh survei atau konsultan politik. Ketiga, memiliki
keteguhan prinsip, namun tetap terbuka terhadap kritik dan masukan. Keempat, tidak
tergantung pada figur-figur bayangan yang kerap menjadi pengatur di balik layar
kekuasaan.
Masyarakat Indonesia sesungguhnya tidak
menuntut pemimpin yang sempurna. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang punya
kemauan kuat untuk berdiri di atas kaki sendiri, berani menanggung risiko demi
kebijakan jangka panjang, dan menempatkan kepentingan bangsa di atas
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Rakyat memerlukan pemimpin yang berani
menegakkan amanat konstitusi dalam menyusun berbagai kebijakan; mulai dari
kebijakan pendidikan, kesehatan, pertambangan, lingkungan hidup, pertanahan,
energi, dan lain sebagainya, terutama kebijakan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.
Pemimpin yang berani menegur elite,
menolak intervensi asing, dan tetap sederhana dalam gaya hidupnya. Pemimpin
yang tidak menjual kedaulatan demi proyek jangka pendek.
Kemandirian bukan soal sikap keras kepala
atau menutup diri dari kolaborasi, dan menyingkirkan orang-orang yang tidak
sejalan dengan kekuasaandan kepemimpinan yang sementara berjalan, tetapi
kemandirian adalah kemampuan untuk berpikir dan bertindak jernih, bebas dari
tekanan dan kepentingan sempit.
Di tengah pusaran politik yang makin
pragmatis, kemandirian adalah bentuk keberanian moral yang paling mahal. Oleh
karena itu, ketika kita berbicara tentang masa depan bangsa, pertanyaan paling
mendasar yang harus kita ajukan adalah: Apakah kita memiliki pemimpin yang
benar-benar mandiri?
Sebab tanpa kemandirian, kekuasaan hanya
akan menjadi panggung sandiwara yang menguntungkan segelintir orang—dan
meninggalkan luka panjang bagi rakyat yang dipimpinnya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang
menyeruak dalam diskusi semalam. Saya hanya mengunci dengan ungkapan penutup
bahwa forum-forum seperti ini diharapkan tumbuh dalam masyarakat yang dapat
membentuk kesadaran kritis terhadap kepemimpinan bangsa.
Buah kesadaran kritis tersebut semoga
matang pada sirkulasi kepemimpinan yang akan datang. Atau buah kesadaran kritis
tersebut, membuat masyarakat peduli terhadap kebijakan para pemimpin bangsa
hari ini. Wallahu a’lam bishshawab
Sungguminasa, 19 Juni 2025

