Penjagaan Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan Penyandang Disabilitas

Konsep Maqaaṣid Mengarah kepada Penjagaan Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan Penyandang Disabilitas. (int) 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Selasa, 17 Juni 2025

 

Stigma Penyandang Disabilitas di Kota Makassar Perspektif Maqâṣid Al-Syari’ah (6):

 

Penjagaan Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan Penyandang Disabilitas

 

Oleh: Muktashim Billah

(Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar)

 

Maqaaṣid al-Syari’ah (Maksud Syariah) dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas memiliki hubungan yang kuat dalam Islam. Maqaaṣid al-Syari’ah merujuk pada tujuan-tujuan yang mendasari hukum Islam.

Maqâṣid (َمَقاِصد) secara bahasa merupakan bentuk jamak dari (َمْقِصد) dan terambil dari bahasa Arab yaitu (َقَصَد) yang berarti tujuan, sedangkan al-Syarȋ’ah (رَِّْشيَعة ال) diambil dari kata (رََسرَع ) yang bermakna hukum.

Sedangkan secara istilah, Maqaaṣid al-Syari’ah adalah: الغَايَة مِنْهَا وَالَأسْرَا ر الَّتِيْ وَضَعَهَا الشَّارِع عِنْدَ ك ِ'ل  حكْ „م مِنْ أَحْكَامِهَا.

Artinya: Tujuan dan rahasia hukum (syariat) yang telah ditetapkan oleh pembuat hukum (al-Syāri’) pada setiap hukum dari seluruh hukum- hukumnya.

Sehingga secara garis besar setiap hukum yang telah Allah swt. dan Nabi saw tetapkan sejatinya terdapat rahasia-rahasia berdasarkan maksudnya, yang mana maksud tersebut dikategorikan dalam tiga hal pokok yaitu Ḍaruriyyāt, Ḥājiyyāt, dan Taḥsiniyyāt.

Ḍaruriyyāt, Ḥājiyyāt, dan Taḥsiniyyāt adalah konsep yang berkaitan dengan tingkatan kebutuhan dalam Islam. Konsep-konsep ini sangat relevan dalam memahami hak-hak penyandang disabilitas dan bagaimana Islam mendorong perlindungan dan pemenuhan kebutuhan mereka.

Dalam Islam, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan Ḍaruriyyāt (kebutuhan dasar), Ḥājiyyāt (kebutuhan penting), dan Taḥsiniyyāt (kebutuhan yang lebih tinggi sebagai pelengkap). Dalam penjelasan berikut, akan dijelaskan pengertian dan hubungan Ḍaruriyyāt, Ḥājiyyāt, dan Taḥsiniyyāt dengan penyandang disabilitas, serta dukungan dari al-Qur’an dan Hadis.

Jasser Auda mengarahkan Maqaaṣid al-Syari’ah pada aspek yang lebih luas. Maqaaṣid al-Syari’ah diarahkan pada empat poin.

Pertama, membagi Maqaaṣid al-Syari’ah ke dalam tiga tingkatan yaitu maqâṣid al-‘āmmah yang bermakna bahwa Maqaaṣid umum melihat kemaslahatan secara universal dari segi persamaan hak, keadilan, toleransi dan kewajiban serta berupaya mewujudkan kemaslahatan yang relevan dengan saat ini dengan konsep pengembangan seperti pengembangan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang diistilahkan dengan al-Tanmiyyah (الَّتْنِمَّية).

Kedua, jangkauan Maqaaṣid al-Syari’ah diperluas jangkauannya yang awalnya bersifat perlindungan secara individu menjadi pengembangan masyarakat, bangsa dan negara.

Ketiga, sumber Maqaaṣid al-Syari’ah digali langsung oleh mujtahid dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan hadis.

Keempat, tujuan Maqâṣid al-Syarȋ’ah tidak hanya berfokus pada perlindungan atau penjagaan tapi mengarah pada pengembangan manusia (human development), hak asasi manusia (human rights) dan kemaslahatan secara menyeluruh.

 

Sistem, Pendekatan Sistem, dan Penawaran Jasser Auda

Sebelum merinci pendekatan sistem Maqaaṣid al-Syari’ah menurut Jasser Auda, sebelumnya akan dijelaskan mengenai sistem. Sistem memiliki beberapa pengertian yang mengarah pada elemen yang saling terhubung yang menghasilkan sesuatu yang diharapkan.

Ross (1993) mendefinisikan sistem sebagai seperangkat elemen yang dipersatukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Mc. Leod (1995) mendefinisikan sistem sebagai sekelompok elemen yang saling terkoordinasi dan terhubung dengan maksud tertentu untuk mencapai tujuan.

Scott (1996) menjelaskan bahwa sistem sejatinya terdiri dari tiga unsur utama, yaitu: masukan (input), pengolahan (processing) dan keluaran (output).

Dengan demikian, dalam memahami sistem dalam Maqaaṣid al-Syari’ah membutuhkan perangkat-perangkat yang saling terhubung untuk mencapai tujuan tertentu dengan maksud-maksud tertentu.

Pendekatan sistem adalah pendekatan yang bersifat analisis organisatoris dengan menggunakan ciri-ciri sistem sebagai tolok analisis, sehingga berarah kepada prosedur yang bersifat logis dan rasional dalam merancang komponen yang saling berhubungan sehingga berfungsi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kelebihan pendekatan sistem adalah jenis dan jumlah input dapat disesuaikan sesuai kebutuhan, proses output dapat lebih teratur dan mencegah output yang tidak diharapkan dan output yang bersifat lebih optimal karena telah diukur secara tepat dan objektif terlebih akan ada umpan balik.

Jasser Auda berpandangan bahwa sejatinya sistem yang ideal yaitu apabila bisa memelihara orientasinya berdasarkan keterbukaan, tujuan, kerja sama antar-sub sistem, keseimbangan antara dekomposisi, struktur hierarki dan terintegrasi.

Kaitannya dengan Maqaaṣid al-Syarȋ’ah, Jasser Auda menawarkan beberapa pendekatan sistem yang saling terikat untuk mencapai Maqaaṣid al-Syarȋ’ah yang lebih terarah dan berkembang.

Pendekatan sistem tersebut yaitu (a) Watak Kognitif (al-Idrākiyyah / Cognition), (b) Kemenyeluruhan (al-Kulliyyah / Wholeness), (c) Keterbukaan (al-Infitāḥiyyah / Openess), (d) Saling berkaitan (al-Harakiyyah al-Mu’tamadah Tabaduliyyan / Interelated Hierarcy), (e) Multi-dimensionalis (Ta’addud al-Ab’ād / Multidimensionality), dan (f) Kebermaknaan (al-Maqâṣidiyyah / Purposefulness).

Konsep sistem di atas, kemudian melahirkan Maqaaṣid al-Syarȋ’ah yang beralih dari konsep penjagaan dan perlindungan mengarah pada pengembangan dan hak asasi pada bab-bab agama (al-dīn).

Konsep Maqaaṣid mengarah pada pengembangan nilai-nilai keagamaan yang bernuansa toleransi, kebebasan beragama, atau bila ditarik ke dalam perihal disabilitas maka akan membuka nilai-nilai yang bersifat pengembangan terhadap potensi disabilitas dalam kebebasan menjalankan ritual agama sesuai dengan kesanggupannya.

Lalu perkara jiwa (al-nafs) yang diarahkan tidak lagi pada penjagaan jiwa tetapi kepada pengembangan martabat manusia dan pengembangan nilai-nilai HAM terutama bagi penyandang disabilitas.

Menjaga akal (al-‘aql) diterjemahkan kepada pengembangan potensi manusia tanpa adanya dikotomi keterbatasan, pada perihal penyandang disabilitas hal tersebut bisa diraih dengan penyamarataan akses pendidikan.

Menjaga harta (al-māl) diarahkan kepada konsep pengembangan ekonomi dalam bantuan- bantuan sosial, pendistribusian uang hingga penganggaran kepada peningkatan kualitas masyarakat utamanya kepada penyandang disabiltias. Menjaga keturunan (al-nasl) mengarahkan pada kepedulian keluarga. (bersambung)


.......

Tulisan Bagian (5):

Penyandang Disabilitas Bukan Objek Belas Kasihan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama